I Always Love You

 

Kehidupan Daun

Chapter : I always love you, Brother

 

“TIDAK! JANGAN LAKUKAN ITU! ADIKKU BELUM MATI!!”

Ali berteriak kencang, membuat senyap seisi ruangan. Menyisakan suaranya yang melengking keras, membahana di langit-langit.

Ali menatap tajam Dr. Malik yang hendak melepas selang infus dan oksigen yang masih tertancap pada tubuh sang pasien. Mata almondnya menatap nanar, tapi mematikan.

“HENTIKAN! JANGAN ADA YANG MENYENTUH ADIKKU! JANGAN ADA YANG BERANI MELEPASKAN PERALATAN ITU!”

Ali tersengal, mengatur napasnya yang memburu. Menatap seisi ruangan satu persatu.

NIIIIIITTT!!

Elektrokardiogram masih berbunyi, meningkahi suasana yang sunyi-senyap. Dr. Diaz dan rekan-rekannya mematung di tempat, tidak bergerak. Pemuda di depan mereka itu menjadi pusat perhatian karena teriakannya yang begitu menyakitkan. Mama terisak dalam dekapan Ayah, tidak sanggup melihat kondisi kedua anaknya. Bearbot tertunduk dalam, menatap pemandangan itu nanar.

Mimpi, semuanya terasa mimpi bagi Ali. Rasanya semua baik-baik saja. Nila memang sudah koma 3 minggu lebih, tapi kondisinya stabil. Bahkan tadi pagi, operasi pengangkatan kanker otak itu berjalan lancar. Kondisi Nila stabil dan baik-baik saja.

Sayangnya, tidak ada yang menduga.. beberapa jam setelah operasi, tubuh Nila memberontak, seolah ingin lepas. Menggeliat liar di atas bed pasien. Tim Dr. Diaz bergegas hendak melakukan tindakan, namun terlambat.

Persis saat alat-alat itu dipasang, jantung Nila berhenti berdetak. Bahkan saat dipacu dengan defibrilator pun, tidak bisa berdetak lagi.

Semuanya terasa mimpi.

“ADIKKU TIDAK MATI! Dia berjanji untuk terus hidup dan akan sembuh! Dr. Diaz, dia tidak MATI, KAN?!”

Dr. Diaz tersenyum getir, tertunduk. Tidak sanggup memandang mata Ali. Membuang napas yang memenuhi rongga dada. Berat, semuanya terasa berat baginya.

Ia telah gagal. Gagal menyelamatkan nyawa sepupu kecilnya. Gagal sebagai dokter.

Menangis dalam hati. “Maafkan aku, Erin.”

Ali meraung lagi, mengguncangkan tubuh adiknya. Percuma, gadis itu tetap kaku. Tidak bergerak sama sekali.

“Nila, bangunlah... Nila, aku mohon! Jangan begini! Kau bilang kau tidak akan mati kecuali bersamaku, Nila! Tapi mengapa kau mengingkari janjimu?!”

Dr. Diaz tertunduk semakin pilu.

Bagaimanapun semenyebalkannya tingkah Ali, Dr. Diaz memakluminya.

Ia pernah merasakannya, tepat beberapa tahun lalu, saat ia belum menjadi dokter.

Kehilangan adik tersayangnya. Adik perempuan satu-satunya yang ia miliki.

Dan itu terasa menyakitkan, karena adiknya itu meninggal di pundaknya.

Tapi, bagaimanapun juga... peraturan tetaplah peraturan. Kode etik tetaplah kode etik. Sebagai seorang dokter, ia harus tegas menghadapi pasiennya. Dr. Diaz mendekati Ali dan Nila.

“Ali...”

“Dokter, kumohon! Kau sudah berjanji padaku untuk menyembuhkan Nila! Kau sudah berjanji, Dokter! Kau sudah berjanji dengan Kak Erin untuk tidak melakukan kesalahan yang sama!!” teriak Ali kencang, menarik jas putih pemuda berusia 30-an itu.

Diaz kembali tertunduk, hatinya kembali tergores oleh pilu. Bagai ditusuk sebilah sembilu, hatinya perih. Nyeri. Menyakitkan.

“Ali Sayang—“ suara Mama serak terdengar.

Ali meraung lagi, tidak menggubris. Mengguncang tubuh Nila. Mendesis-desis menyuruh adiknya bangun.

“Dokter—“

“Ali.”

Ali terdiam, menatap ke arah Diaz yang memegang bahunya. Mata mereka bertemu. Bertatapan lurus. Diaz tersenyum menguatkan, memegang bahu pemuda itu lembut.

Memberi kekuatan.

“Ali, ini bukan soal aku tidak mengerti perasaanmu. Aku sangat, sangat memahami perasaanmu. Karena rasanya sangat menyakitkan, dan aku pernah merasakannya.

“Tapi ini bukan lagi soal perasaan. Kita harus lapang dada, menerima keputusan Allah. Ini sudah takdir, dicatat 50 ribu tahun sebelum alam semesta diciptakan. Apapun yang terjadi pada hari ini... Allah sudah menuliskannya dalam Lauh Mahfudz.

“Semuanya terasa menyakitkan memang, manakala kita kehilangan orang yang sangat dekat dengan kita. Menemani kita dalam kesendirian, selalu menyemangati saat kita terpuruk. Kini ia pergi. Itu menyakitkan, aku mengetahuinya. Tapi, cobalah bersikap seperti daun, Ali.

“Kau pernah bilang. Daun tidak akan pernah membenci angin. Itu benar. Daun akan selalu menerima takdirnya dengan lapang dada. Tidak pernah membenci angin, yang selalu menerbangkan, menghempas, dan mengayunkannya ke mana-mana. Ia rela atas takdirnya. Ia tidak protes saat ia harus diinjak, diterbangkan angin, diludahi...

“Karena ia yakin dan tahu betul, bahwa Allah sudah menentukan hal ini untuknya sejak lama, sebelum ia diciptakan. Maka ia tidak lagi protes, tidak lagi menganggu gugat. Ia menerima segalanya dengan lapang dada.”

Dr. Diaz tersenyum, mengelus lembut kepala Ali.

“Aku bukannya sok tahu, sok menggurui... karena aku tahu betul rasanya. Itu menyakitkan. Ketika kehilangan seseorang yang selalu ada untuk kita, yang kita sudah hafal kehadirannya... semuanya terasa gelap dan menyakitkan.

“Karena ia adalah mataharimu. Yang selalu menyinari hidupmu dengan sinarnya. Melukis bermacam warna di pelangimu.

“Tapi kini ia mati, pergi meninggalkanmu. Membuatmu harus berada dalam gelap, harus sendirian, tanpa keberadaannya di sisi.

“Tapi, terkadang, kita perlu menyalakan sendiri matahari dari dalam diri sendiri, Ali. Kita tidak bisa terlalu bergantung pada orang lain. Bisa jadi ia akan meninggalkanmu begitu saja.

“Jangan jadi seperti bulan. Di mana ia hidup bersama Matahari dan Bumi. Manakala Bumi dan Matahari mati, ia juga mati.

“Jangan seperti itu, karena kelak kau tidak bisa maju.

“Kereta api akan tiba di tujuan dengan selamat jika ia tetap berjalan pada jalurnya. Maka, selama kau tetap yakin dan percaya atas Allah, maka kau akan selamat.”

Dr. Diaz tersenyum, menatap Ali dengan lembut. Mengacak lagi rambut fluffy Ali.

“Karena itu... biarkan kami melakukan tindakan, Ali.”

Diaz lantas berjalan mendekati Nila. Dengan kode kedipan mata, rekannya turut mendekat. Mulai kembali bekerja. Melepas paddle sternum dan paddle apex yang terhubung dengan defibrilator dan dada Nila. Selang-selang oksigen dilepas. Infus dicabut.

Peralatan itu disingkirkan dari Nila. Kini kain putih yang menyelimuti separuh tubuhnya.

Ali menatap Nila nanar. Wajah adiknya membiru pucat, tapi seperti biasa... wajah gadis itu selalu takjim. Begitu damai.

Ali gemetar mendekat, meremas jemari Nila. Merasakan kulit adiknya untuk terakhir kalinya.

“Kau sungguh akan pergi?”

Batin Ali pilu.

Limbung, serta-merta Ali mendekap tubuh adiknya yang terbujur kaku itu. Menangis terisak, merasakan pelukan terakhir dengan pemilik tubuh yang sudah dingin membeku itu.

“I love you, Nila. I love you more than I can say.” Teriaknya dalam hati.

Tapi, tanpa Ali sadari... sebuah tangan terulur menyentuh pundaknya. Lembut. Hangat. Memberinya kekuatan.

Kekuatan untuk bersabar, untuk menghadapi takdir. Karena memang inilah kehidupan.

“I... I al... always l-o-v-e you, Brother.”




***************************************************************************************************


Assalamualaikum~ Yuhuuuuu!!!

I'm come back!

Gimana ceritanya? Wkwkwk! Bikin penasaran? 

Yosh, sebetulnya cerita di atas adalah cerita yang kubikin buat ikut lomba Flash Write yang diadakan oleh Cerivitas di tanggal 13 Februari 2021 sampai 14 Februari 2021. Alhamdulillah aku menang, yeyeyeyeyeyyy~ 

Jadi di sini aku mau berbagi naskah yang kubuat saat ikut lomba Flash Write itu. Sekalian mau kasih bocoran ceritaku yang lagi on going, Kehidupan Daun. Wkwkwk.

Kepo? Kuy cek : Kehidupan Daun

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Berpetualang bersama RobotBear

Tatapan Pertama