Kau Anak Pemberani
Kau Anak Pemberani
Oleh : Fatya Bakhitah Sulaiman
23 Mei 2019
Langkah gadis itu terus berderak. Nafas yang memburu tak dipedulikannya. Tangan kirinya mendekap map dokumen. Wajahnya tampak pucat. Apakah yang terjadi?
Gadis itu kemudian memasuki sebuah ruangan. Map dokumen yang dipegangnya digeletakkan di atas meja. Sedangkan dia segera mendekati sosok berjaket biru navy yang di depan layar besar.
“Ankara, kau kembali?” sosok itu menatap gadis yang dijuluki Ankara itu (artinya kilat). Gadis berjuluki Ankara itu mengangguk, “Tentu saja, Laksamana. Saya sudah berusaha secepat mungkin sejak dipanggil.”
“Kau memang sosok kilat, Ankara.” Laksamana Zao tersenyum datar, dia menoleh pada Ankara. Ankara hanya mengangguk, tersenyum tipis, walau wajahnya bersemu merah.
“Jadi, apa yang harus kita lakukan, Laksamana?” Ankara mendesak. Wajahnya tampak cemas sejak melirik layar yang menggambarkan kekacauan yang terjadi di Karaman. Lokasi Karaman sangat dekat dengan Edirne dan Anjusna. Apa yang terjadi jika kekacauan itu tertelantarkan?
“Tentu saja kita menghalau mereka dari Karaman.” Laksamana Zao menjawab ringan.
Ankara terdiam. Menghalau? Itu berarti genderang perang akan ditabuh. Pertempuran akan kembali berdentang. Tidak bisa ditahan, walaupun sedetik. Tindakan harus dilakukan secepatnya. Tinggalkan semuanya, apapun.
“Bukankah … Bukankah sebentar lagi hari raya, Laksamana? Hari raya Idul Fitri?” Ankara ragu-ragu bertanya. Bagaimana semua ini? Umminya sudah menunggu di rumah, menyiapkan apa saja. Semalam baru bersua lewat video call, tertawa, tersenyum, mengobrol bilang bahwa akan kembali. Tapi, bagaimana dengan ini? Pertempuran mulai di hadapan. Dia tidak bisa mengelak, pilihannya hanya dua : ikut perang untuk membebaskan Karaman, atau membiarkan Karaman dalam kekacauan.
“Ya, mau dibilang apa?” Laksamana Zao tersenyum miris. “Tidak bisa dilakukan apa-apa. Pilihannya hanya dua : membiarkan Karaman dalam kekacauan yang akhirnya Edirne dan Anjusna terkuasai, atau meninggalkan hari raya dan mengangkat senjata. Pilihan yang sama-sama rumit, bukan?”
Ankara mengangguk pelan, Laksamana benar. Ini semua pahit dan rumit.
“Baik, Laksamana. Saya pamit dulu, saya akan menyiapkan semua pasukan.” Sejenak terdiam, Ankara berkata mantap. Langkahnya berderak meninggalkan ruangan.
Laksamana Zao hanya mengangguk tipis. Tangannya segera meraih smartphone. Panggilan ini harus segera dilakukan, kalau tidak Karaman akan hancur.
Keputusan pahit yang telah dipilih. Genderang perang pun mulai ditabuh, dan gaungannya terdengar kencang di semua penjuru.
Lupakan semuanya, lupakan. Jika tidak segera ditindak, maka semuanya akan hancur.
***
“Ke mana anakku? Kenapa dia belum kembali?” Ummi mendesah pelan, tampak gelisah. Seusai sholat Idul Fitri, Ummi segera kembali ke rumahnya, lantas menyiapkan hidangan. Semua tetangga sudah berkunjung, namun mereka heran karena Ankara belum kembali. Ini sudah pukul sembilan pagi. Ke mana perginya gadis itu?
TRING! TRING!
Tablet di atas meja berbunyi, menandakan ada panggilan video call. Ummi segera meraih tablet putih itu, lantas tertegun saat melihat nama pemanggil. Tangannya gemetar menekan tombol berwarna hijau.
“Assalamualaikum Ummi …” suara Ankara terdengar tercekat. Matanya yang mulai membasah menatap wajah Umminya lekat-lekat. “Ummi, maafkan Ankara …”
“Waalaikumussalam … Aya?! Kenapa kamu belum tiba? Apa masih jauh perjalanan helikopternya?” Ummi bertanya. Semua pertanyaan yang bagaikan ratusan sembilu yang menusuk ulu hati. Pertanyaan yang terdengar biasa saja, tapi sebenarnya menghantarkan semua jarum untuk menikam nurani.
“Maafkan Aya, Ummi …” suara itu tercekat. Kali ini Ankara tak mampu menahan aliran air matanya. Dia sempurna terkungkung oleh kesedihan itu. Apalagi saat Umminya memanggilnya dengan nama aslinya : Aya.
“Karaman sedang dalam keadaan yang kacau-balau. Kalau tidak segera ditindak, maka Edirne dan Anjusna akan terkuasai. Serta semua kota yang ada di pulau kita, Ummi. Maafkan Aya yang memberitahu pada Ummi, justru di saat ini …” Ah, meski orang mengatakannya tangguh, Ankara tetap bisa menangis pilu. Memilukan melihat air mata beningnya yang menembus pipi.
Ummi terdiam sejenak. Sedetik. Dua detik. Lima detik. Sepuluh detik. Lima belas detik.
Ankara mengusap pipinya, tersenyum pahit. “Maafkan aku, Ummi. Tidak sepatutnya Aya memberitahu Ummi di saat seperti ini …” ulangnya lagi.
“Kau tidak bersalah, Sayang …” suara lembut Ummi terdengar.
Ummi menatap wajah Ankara. Tersenyum indah, bagaikan saputan sejuta aurora. “Ummi harus merelakannya, Ankara. Ummi harus merelakannya, harus mengikhlaskannya, sepahit apapun itu. Tidak mengapa Ummi tidak bisa menyentuh dirimu, asalkan negara tetap damai dan sejahtera.”
Ankara tertegun. Perkataan Ummi barusan bagaikan panah yang terlesakkan. Sejuta jumlahnya, menembus lapisan kornea, mengalirkan air bening.
“Ummi tidak bisa memaksamu kembali. Tidak bisa. Ummi tahu, itu bukan keinginanmu, tapi tanggung jawab dan kewajibanmu. Ummi harus merelakannya, Ummi tidak bisa memaksa, karena paksaan akan menimbulkan masalah yang lebih raksasa.”
“Ummi …” keluhan Ankara terdengar. Suara mendesah kecewa. Ankara amat pilu mendengar pernyataan Ummi. Ya, amat pilu. Kalimat yang tegas dan lugas, namun menyiratkan rela dan ikhlas.
“Baik, segeralah membantu teman-temanmu. Ummi akan berdoa agar kamu selalu mendapat berkah dan bantuan dari Allah, serta terus dilindungi dan dijaga Allah, serta kemenangan selalu dilimpahkan padamu, Sayang …” Ummi tersenyum, menyentuh layar. Jemarinya menggurat mengikuti bentuk wajah Ankara.
Ankara menelan ludah, tersenyum. Air mata yang mengalir dibiarkannya mengabur. Mulutnya mulai mengikrarkan suatu janji.
“Baik, Ummi …” Ankara tersenyum tipis. Ummi balas tersenyum.
Bagai sejuta cahaya yang dihujamkan, bak sejuta aurora yang dilukiskan. Pelangi yang menyaput dan mentari bersinar terang. Ummi tersenyum lagi. “Selamat berjuang, Sayang.”
Ankara tergugu dalam hati, walau senyumnya menghias seakan hatinya tak ada duka. Dia mulai bangkit, janji yang pernah diucapkannya takkan pernah diingkarinya. Namun akan diwujudkannya.
“Ummi, aku akan menjadi seorang Hafidzah dan penulis! Serta seorang pengacara hebat yang akan memberantaskan semua kejahatan dalam negara! Menjadi sosok yang amat berguna bagi keluarga, agama, nusa dan bangsa!”
***
Aku terbangun dari tidurku. Tertegun. Tidak pernah kualami mimpi seperti itu. Mimpi yang memilukan, tapi juga menggambarkan kerelaan, keikhlasan dan kekuatan perjuangan. Aku harus mewujudkan mimpiku itu … Bukankah aku adalah sosok Ankara?
Aku melirik ke layar smartwatch yang mengelilingi pergelangan. Sudah pukul 04 : 12. Saatnya sahur. Aku menguap sebentar, lantas turun dari tempat tidur. Segera sahur, atau kalau tidak aku tidak akan bisa berpuasa untuk bulan Ramadhan ini.
“Ummi mana, Bi?” tanyaku pada Abi yang mulai menyantap sahurnya.
“Ummi di kamar, katanya perut Ummi sedang kontraksi.” Abi menjelaskan. “Doakan adiknya sehat dan lahir dengan baik dan cepat ya, Nak.”
Aku mengangguk, itu biasa. Aku sering mendoakan Ummi dan Abi dalam sujudku, dalam sholatku. Doa yang takkan tinggal untuk keselamatan adikku dan kesehatan Ummiku.
Aku mulai sahur bersama Andung (panggilan nenek), Abi dan adikku Faqih.
***
Aku santai memasang mukena. Tertawa pada ucapan Faqih yang nyeleneh saat dia melewati pintu kamarku. Lantas aku mulai hanyut dalam sholatku. Dalam hati, tidak hentinya aku mengharapkan adik yang dikandung Ummi agar segera lahir.
Tiba-tiba …
“AYA!!!”
Seruan Ummi terdengar parau. Apakah Ummi kesakitan? Aku bertanya dalam hati. Separuh hatiku mendesak agar menghentikan sholat. Separuh lagi khusyuk berdoa. Sedangkan aku mulai tidak fokus.
Ummi, bertahanlah! Aku mendesiskan kalimat.
“AYA!!! ANDUNG!!!”
Kali ini aku sempurna terhuyung! Teriakan kali ini lebih terdengar menahan sakit. Aku bergegas menyelesaikan sholatku agar aku bisa membantu Ummi. Sosok Ankara yang memegang erat pedang Scimitar bersama empat temannya membuatku mengatupkan rahang. Aku akan seperti Ankara jika ada terjadi sesuatu!
“Ya, Ummi?” Aku berseru di depan pintu kamar Ummi di saat aku selesai sholat. Aku prihatin menatap mata bening yang kelelahan itu, bertanya.
“Panggil Andung … Cepat!!!” Ummi berseru padaku, menjawab dengan teriakan. Aku mengangguk, bergetar melangkah. Secepatnya, bantuan itu harus kuantarkan.
Saat Andung menyelesaikan sholatnya, Andung masuk ke kamar Ummi dan mengurusi Ummi, bertanya apa yang dibantu.
Kudengar di antara percakapan Ummi dan Andung, Ummi mengatakan hendak melahirkan. Tidak bisa ditahan, apalagi dibawa ke rumah sakit agar lahir di ruang persalinan. Sama sekali tidak bisa.
Aku bergegas meraih handphone Ummi. “Ummi, mau Aya teleponkan bidan?”
“Jangan bidan itu … Bidan Sembiring kan, jauh! Bidan dekat sini aja, bidan Syarifah!” Aku prihatin menatap Ummi. Suaranya bergetar menahan sakit.
“Awak tak simpan nomor teleponnya, Vi …” Andung berucap.
“Harusnya ada yang pergi ke sana … Pergi ke rumah bidan …” ucap Ummi. “Aya, kamu berani untuk pergi ke rumah bidan?”
Pertanyaan yang membuatku mematung. Pilihanku dua : aku membiarkan Ummi kesakitan jika aku tidak pergi. Aku akan pergi dan melupakan apapun, termasuk pikiran negatif yang membayangi pelupuk.
Aku ingin menjadi Ankara. Tapi, aku tidak berani dengan gelap. Ini masih pagi buta. Gelap masih menyelubung langit. Aku takut sendirian dalam gelap.
Tapi, mampukah aku untuk membiarkan Ummi kesakitan?
Saat Ummi kembali berseru menahan sakit, tanpa pamit aku meraih jilbabku, lantas dengan baju tidurku aku pergi ke rumah bidan. Lupakan kegelapan, lupakan mitos hantu-hantu yang muncul di dekat pohon besar di perempatan jalan. Lupakan!
Aku berjalan pelan di saat dekat sebuah rumah bertingkat. Namun, saat bayangan Ankara bersama Kezi, Risa, Jaihan dan Zelfa melewati pelupuk, aku mulai berlari. Tak kuhiraukan bebatuan yang hampir membuatku jatuh. Tidak kupedulikan.
Bruk!
Langkahku terhenti di saat aku terjatuh. Kakiku menyandung batu, lantas terjatuh tepat di depan sebuah pohon besar dekat perempatan jalan. Aku menelan ludah. Aku tidak boleh takut.
Aku mengepalkan tangan, berusaha mengendalikan perasaan. Segera aku berbelok kanan, terus berlari tanpa menghiraukan bapak-bapak yang menasihatiku, jangan lari, ntar jatuh! Aku terus berlari, mendorong pagar, segera mengetuk pintu rumah bidan.
Setelah kujelaskan, bidan itu mengangguk. Dia menyambar tas peralatannya, lantas segera mengikutiku, segera menuju rumahku.
Tetangga sudah berkumpul di depan rumah saat aku membawa bidan ke rumah. Bidan itu segera menangani Ummi, yang ternyata sudah melahirkan dengan bantuan Andung. Bidan itu cukup membantu Ummi mengeluarkan ari-ari dan yang lainnya.
“Adiknya perempuan!” Andung berseru riang saat bidan selesai menangani Ummi. Aku bersama empat adikku bergantian menciumi adik perempuanku yang baru lahir itu.
“Sini, Nak,” ujar Ummi memanggilku. Tangannya melambai padaku, kode mendekat.
Aku pun mendekati Ummi, meninggalkan adik bayiku yang dikerumuni oleh tetangga dan adik-adikku.
“Terima kasih, Sayang,” ucap Ummi lembut, bibir merah mudanya mengecup lembut dahiku. “Terima kasih, kau sungguh anak pemberani.”
Aku mengangguk, tersenyum, “Aku sayang Ummi.”
“Dik Faizah, ini kakakmu. Kak Aya. Dialah anak pemberani, yang membantu kamu untuk lahir. Ini kakakmu, Faizah, kak Aya.”
Aku tersenyum, memeluk adikku. Wajahku merah padam karena dipuji, tapi separuh hatiku juga bahagia karena adikku berhasil lahir dengan selamat dan Ummiku sehat wal afiat dan aku berhasil menjadi Ankara, si Anak Pemberani.
Ummi, aku mencintaimu karena Allah… I love you more than I can say
Komentar
Posting Komentar