Bukan Awan, Bukan Halimun


Bukan Awan, Bukan Halimun

By : Fatya Bakhitah Sulaiman

 

Aku tersenyum menatap lembayung pagi. Indah membiru. Awan cirrus bagai kapas yang tersaput di langit. Cahaya mentari menyemburat indah dari balik gedung-gedung tinggi. Sinarnya menyinari dunia dari kejauhan ujung horizon cakrawala. Angin berhembus memainkan ujung jilbabku. Ini adalah pagi pertamaku di Pekanbaru.

            Aku menikmati suanasa. Kicauan burung gereja di atas sana riuh mengisi senyapnya udara pagi. Para karyawan sudah bersiap rapi dengan motor dan mobil mereka. Anak-anak berseragam ada yang diantar ke sekolah ataupun pergi sendiri.

            Aku sudah menyelesaikan tugasku. Menyapu, mengepel, menyiram tanaman, mencuci piring, merapikan kamar-kamar, mengeluarkan motor ke teras hingga membereskan rumah. Aku juga sudah memandikan Fairuz, menyiapkan air mandi Faizah, lalu aku mandi.

            Aku tersenyum menatap puncak masjid Abu Ad-Darda’. Tampak diselimuti kabut. Aku menyipitkan mata, memastikan sekali lagi. Ya, itu kabut.

            Dahiku sedikit terlipat. Aneh. Di kota ada kabut putih? Atau yang dikenal dengan ‘halimun’?

            Aku terbiasa melihat halimun menyelimuti bukit yang memagari kampung kecilku, Batang Toru. Indah dan menawan. Pelangi terlukis indah di langit. Bentuknya terkadang melengkung, menyerupai ombak, atau lingkaran sempurna. Kadangkala muncul bersama kemilau air hujan atau kilauan sinar mentari. Itu indah sekali. Sunrise yang hebat!

            Sekarang? Apakah itu sama?

            Masak iya, sih, ada halimun di kota?

            Aku masuk ke rumah, langsung bertanya pada Ummi. (hmmh, coba kalo di sini ada Robot Bear dan Profesor Strout, ya… Aku bisa nanya langsung ke mereka, ya, kan?)

            “Ummi, di dekat masjid ada kabut putih, lho!” seruku pada Ummi. Ummi menatapku, mengernyit, tidak mengerti.

            “Ada halimun, Mi… Lihat!” Aku semangat menunjukkan kabut di langit. Mengambang indah bagai kapas.

            Tiba-tiba Ummi tertawa.

            Ish, kok ketawa, sih?” gerutuku pada hati.

            “Aya, itu kabut asap. Bukan kabut halimun yang biasa kamu nikmati di Batang Toru sana. Itu adalah asap.”

            Kalimat Ummi sempurna mengembalikan ingatanku. Aku kelu menatap kabut di langit sana. Yang awalnya terlihat indah bagiku kini terlihat keruh. Bibirku yang tersenyum itu kini terlihat lurus. Manik legamku yang berbinar itu kini terlihat pupus.

            Kabut asap?? Oh, kejamnya…

***

Hari demi hari berlalu. Kabut asap tak berhenti muncul. Tak peduli waktu, asap selalu hadir. Tanpa diundang, malah datang.

            Pagi ini, kulirik jendela. Pagi, jam tujuh tepat. Alam sekitar tampak menguning. Langit mulai gelap. Dalam remang, cahaya matahari berusaha menelisik kabut kuning. Namun, legam yang menyelimuti, menyisakan sedikit cahaya.

            “Terlalu! Ini sungguh terlalu!” Aku mengomel. “Semalam kebakaran apalah, sekarang kebakaran itulah. Woi, ini disengaja atau tidak, sih?”

            Lihatlah! Langit sempurna kelam. Kabut menutupi alam. Warna sekitar tampak menguning. Oi, tanpa diberi tahu oleh Papan Indeks Standar Polusi Udara, aku sudah tahu bahwa indeksnya adalah BERBAHAYA.

            Aku tidak habis pikir. Mengapa asap selalu mengambang? Mewarnai pagi. Menutupi siang. Bahkan menyelimuti dalam keremangan malam. Kenapa asap tidak pernah hilang? Tidak berkurang? Jangan-jangan, semua hal yang memunculkan asap dilakukan dan dikerjakan??

            Kemunculan asap bisa dari :

  1. Asap pabrik
  2. Knalpot kendaraan bermotor, mobil, truk, dll
  3. Pembakaran hutan, desa, sampah, dll
  4. Penebangan pohon-pohon

Oiya! Mengapa menebang pohon juga termasuk memunculkan asap? Tentu saja! Tanpa pohon, karbon dioksida tidak hilang dan oksigen akan habis.

      Ingat! Penghasil utama oksigen adalah fitoplankton, makhluk kecil yang hidup di laut. Mereka menyumbangkan oksigen sebanyak 80% ke udara.

      Tumbuhan mikroskpis yang hidupnya melayang di permukaan air itu menyumbang oksigen lebih banyak ke udara daripada hutan di seluruh dunia yang menghasilkan 20% oksigen.

      Namun, peran hutan dan pohon amat berguna bagi ekosistem kehidupan. Pohon bisa mengurangi atau mengganti karbon dioksida menjadi oksigen. Tapi, apakah peran pohon jika dia ditebang?

      Asap dari kebakaran, pabrik, ataupun knalpot kendaraan akan mengisi udara jika pohon-pohon tidak ada alias ditebang.

      Lantas, apa tindakan kita kepada situasi yang menggetirkan ini?

      Ikuti langkah sederhana ini, yuk!

Cara mengurangi asap (walau sederhana, semoga bermanfaat) :

  1. Sampah jangan dibakar! Tapi, timbun dalam-dalam di tanah. Selain mengurangi sampah dan asap pembakaran, jika sampah ditimbun dalam tanah, tanah akan menjadi subur dan berhumus. Oiya, sampah bekas juga bisa diubah menjadi berbagai kreasi menarik, loh!
  2. Gunakan kendaraan seperlunya! Kalau bisa, perbaiki knalpotnya agar tidak menguarkan asap! ^_^
  3. Rawat tanaman dan pohon agar tetap subur dan bisa menyaring karbon dioksida dengan baik!! Ingat : jagalah pohon, maka dia menjagamu
  4. Jangan lakukan pembukaan lahan dengan cara membakar! Jika ingin membuka lahan, tebang dengan baik-baik. Oh iya, setelah ditebang, jangan lupa lakukan reboisasi, yah!! ^_^…. Ingat tau : hutan adalah paru-paru dunia!

 

Lakukanlah yang terbaik untuk keasrian kota kita! ^_^

Allah itu Maha Indah dan menyukai keindahan.

(H.R. Muslim)

 

Dan apabila dikatakan kepada mereka, “Janganlah berbuat kerusakan di bumi!” mereka menjawab, “Sesungguhnya kami justru orang-orang yang melakukan perbaikan.”

Ingatlah, sesungguhnya merekalah yang berbuat kerusakan, tapi mereka tidak menyadari.”

(QS. Al-Baqarah : 11-12)

Banyak orang yang berbuat kerusakan di bumi. Karena itulah bumi tidak asri dan tidak indah lagi.

            Hayoo…, siapa yang mau menjadikan kota ini lestari dan indah agar disukai Allah? Yuk, ikutan melakukan kebaikan. Kalau tidak bisa ikut turun tangan, berdirilah di belakang orang yang berbuat kebaikan. Itu lebih baik daripada kita hanya diam tak melakukan apa-apa dan juga mengikuti para perusak.

            Apa kata Bapak Ki Hajar Dewantara?

Ing ngarso sung tulodho, di depan memberi keteladanan

Ing madyo mangun karso, di tengah membangun kehendak

Tut wuri handayani, di belakang memberi dukungan

Yuk, lakukan apa saja untuk keindahan kota kita! Meski sederhana, itu lebih baik daripada kita menjadi salah seorang perusak.

            Lakukanlah kebaikan demi keasrian dan keindahan kota! Jadilah hero bagi mereka! ^_^

 

 Salam Hangat : Fatya

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I Always Love You

Berpetualang bersama RobotBear

Tatapan Pertama