NEGERI JEREBU
NEGERI
JEREBU
By
: Fatya Bakhitah Sulaiman
Assalamu’alaikum.
Hai semua, perkenalkan
namaku Fatya Bakhitah Sulaiman. Usiaku sebelas tahun, aku anak sulung dari lima
bersaudara. Aku bersekolah di Homeschooling Bayti Jannaty, menduduki kelas 6.
Aku berdomisili di Pekanbaru, Riau.
Aku hanya mengisahkan
kehidupan kami. Tak istimewa barangkali. Namun, semoga ini bermanfaat. Semoga
saja ada suatu tindakan baik untuk Riau, Negeri Jerebu.
***
Sejak tahun 2016, aku
pindah ke sebuah kampung terpencil di Tapanuli Selatan, Sumatera Utara. Namanya
Batang Toru. Aku pindah ke sana karena Abiku disuruh bekerja di sebuah
perusahaan yang ada di sana.
Di Batang Toru, aku menjalani hidup dengan sejahtera,
damai dan aman, serta nyaman. Kehidupan di sana berjalan amat indah dan
menyenangkan. Udara segar, mentari cemerlang, bukit-bukit menghijau, sungai
mengalir bening, air terjun meluncur deras, laut luas membiru, dan beragam
keindahan alam lainnya. Aktivitas ekonomi lancar. Globalisasi tak ketinggalan. Lingkungannya
religius dan tentram. Nilai keikhlasan, silaturrahmi dan hubungan tetangga
tidak kalah. Bahkan, tetanggaku menerima aku yang ingin belajar dari pengalaman
atau aktivitas mereka dengan tangan terbuka. Aku sangat senang tinggal di sana.
Setelah tiga tahun lamanya di Batang Toru, akhirnya
aku dan keluargaku harus pindah kembali ke Pekanbaru. Pasalnya, aku harus
mengikuti PKBM, karena aku sudah kelas enam. Untuk sementara, Abiku tetap
tinggal di Batang Toru sendirian.
Sejak aku kembali, tragedi itu pun kembali.
Awalnya, aku amat senang tinggal di Pekanbaru. Ya, amat
senang. Karena, aku bisa kembali bertemu dengan sanak saudara, teman-temanku
hingga kerabat. Selain itu, aku suka karena bisa belajar dari lingkungan
baruku, seperti yang pernah kulakukan di Batang Toru dulu.
Tapi, lama kelamaan, aku merasa resah. Merasa tidak
senang. Ya, lihatlah, tragedi tahun 2015 lalu kembali menjelma di hadapanku.
Menutupi langit, membuat semuanya kelam. Asap membumbung tinggi,
partikel-partikel racun kembali menyelimuti setelah tiga tahun berhenti.
Aku benar-benar sedih. Kesenangan selama ini lenyap
begitu saja. Tidak ada lagi aktivitas di luar rumah. Padahal, gaya belajar anak
Homeschooling adalah bebas. Bisa di mana saja. Namun, kali ini, kami semua
harus terkungkung di dalam rumah. Gaya belajar outdoor tidak ada lagi. Kami hanya berkutat dengan buku, komputer,
atau praktik di dalam rumah.
Aku prihatin sekali. Melihat dunia yang dulu amat cerah,
kini terkungkung kegelapan. Menatap hutan yang dulu rimbun menghijau, kini gersang
menghitam. Menghirup udara yang dulu segar, kini mengandung asap pembakaran.
Tidak segar, tidak sehat.
Terkadang, aku harus menggigit bibir, mengepalkan tangan.
Kesedihan menggantung di langit-langit kota. Benar-benar menyedihkan,
memprihatinkan. Asap mengancam semuanya. Mengancam pendidikan, kesehatan,
bahkan aktivitas sehari-hari. Semuanya serba terbatas.
Beraktivitas harus menggunakan masker. Anak-anak sekolah
diliburkan. Bayi-bayi harus menanggung sesak napas. Ibu hamil, ibu menyusui,
dan lansia harus merintih kesakitan. Semuanya harus menerima keadaan. Tidak ada
tapi, tapi, tapi, dan tapi. Harus diterima, karena semuanya diluar kuasa
mereka.
Aku memang sedih. Sediiiiiihhh
sekali. Karena semua ini bukan pertama kali. Tetapi sudah berkali-kali. Terkadang
hati kecilku bertanya, “Mengapa semua ini
terjadi? Apa maksudnya? Apakah ini disengaja?”
Kalian bertanya bagaimana kotaku? Begitulah. Kesakitan
sudah hal biasa. Aktivitas dengan masker bukan hal pertama kali. Asap di
mana-mana sudah jadi lumrah. Demo di mana-mana sudah bagaikan upacara bendera.
Kalian bertanya bagaimana Indonesiaku? Indonesiaku
teracuni. Tersakiti. Bukan hanya manusianya, tapi juga hewan, bahkan
tumbuhannya. Hutan dan alamnya. Semua merasa terzhalimi.
“Paru-paru Dunia” seakan julukan dalam bayang. Lihat,
hutan tidak ada lagi. Semuanya terbakar. Musnah. Lenyap. Yang tersisa hanya
bara dan asap. Tumbuhan harus rela menjadi bara merah. Hewan-hewan langka
dilupakan. Hewan-hewan liar dibiarkan menjadi korban.
“Kemakmuran dan Kesejahteraan” bagaikan slogan selayang
pandang. Bagaikan hanya sebuah retorika. Realitanya? Entahlah.
Maka, yang aku harapkan bukan hal lain. Aku hanya ingin
Indonesia kembali hebat. Aku yakin, Indonesia punya potensi terpendam. Karena itu,
aku ingin hutan dan alam Indonesia kembali asri dan lestari. Udaranya segar,
kehidupannya sejahtera dan bahagia.
Mimpiku selama ini hanya satu, Indonesia kembali menjelma
dalam rupa sejatinya. Hutan dan alam kembali muncul. Anak-anak giat belajar. Kesehatan
tak terancam. Kehidupan berjalan aman dan nyaman. Hanya itu mimpiku.
Aku ingin, perubahan yang kumimpikan selama ini akan
terwujud. Semua mimpi itu ada pada kita, pada rakyat. Tinggal kitalah yang
bertindak.
Doaku, agar Indonesia kembali bangkit dengan semua
kehebatannya. Menggeliat dalam semua potensi terbaiknya. Aku yakin, mimpiku
akan terwujud. Karena, semua masa depan negara terdapat pada genggaman
anak-anak mudanya.
Komentar
Posting Komentar