Sahabat Sejatiku


Sahabat Sejatiku

By : Fatya Bakhitah Sulaiman

 

“Errgh,” Aku menggerung sambil meraih guling di pelukan Fathimah. Menguap lebar, lantas berbalik menghadap dinding.

            Oiya! Tiba-tiba aku teringat sesuatu. Aku beranjak duduk. Mataku menatap sekitar dalam remang. Aku mengangkat tangan kananku, melirik smartwatch. Layarnya menunjukkan angka digital pukul 03:40.

            Yeah! Aku menjentikkan jari, lantas loncat dari kasur. Aku menyibak rambut yang menutupi mata. Aku melangkah riang ke kamar mandi. Alhamdulillah, yes, akhirnya waktuku untuk menulis tiba *hehe*.

            Aku meraih sikat dan past gigi. Menyikat gigi, kemudian mencuci muka dan disusul wudhu. Saatnya mengerjakan sholat Tahajjud selama dua puluh menit sebelum pukul 04:00.

            Drrrt! Drrrt! Drrrt! Drrrt! Smartwatch yang selalu stand by di tanganku sepanjang hari itu berdenging mengingatkan saat aku menyelesaikan do’a. Ya, ya, ya, aku tahu. Aku berdiri, melipat mukena dan sajadah. Menyalakan UPS (Uninterruptible Power System) dan CPU komputerku. Nah, sembari menunggu komputerku selesai say hello, welcome, loading, *hehe* aku meraih dompetku yang berisi flashdisk dan SanDisk. Kuraih SanDisk, kupasang di CPU komputer.

            Aku memilih file SanDisk, kemudian folder-folder tulisanku terpampang di layar. Folderku sudah ada enam, loh!

            Aku memilih folder Ilmiah, lalu menekan file tulisanku.

            Oke, kisah tentang menulis ini kita skip aja ya, mungkin kalian bosan *xixixixi*

☼☼☼

Seusai mengaji selepas sholat Shubuh, aku meraih jilbabku. Mengambil kunci motor. Mengeluarkan motor dari dalam rumah ke teras. Lalu, aku menjinjing ember kecil berisi air dan gayung. Kusiram tanaman di halaman rumah.

            Lalu, aku masuk ke rumah. Saatnya mengepel dan menyapu. Mumpung Ummi masih ketiduran (ummi begadang, adik Faiza yang ngajak *hohoho, emang bisa bicara?*). Kusapu ruang tamu, kamar, ruang komputer, ruang makan hingga ke dapur dan teras.

            Saatnya mengepel!

            *skip aja yah!*

☼☼☼

“Aya, bantu Ummi mengangkat karpet.”

            “Iya, Ummi.”

            Aku membantu Ummi mengangkat karpet merah. Ringan, tidak terlalu berat. Bahkan aku bisa mengangkatnya sendirian *ih, kok sombong amat sih?*.

            “Bentangkan di teras depan, yang teras kuning.”

            Aku sigap loncat. Karpet merah yang digulung rapi macam bolu *ahaha, lebay!!* itu kubentangkan. Kuraih sapu di tiang hitam. Debunya kusapu supaya bersih. Jadi, ketika ada orang yang duduk nggak bakal gatal-gatal dan aku pun gak kena marah, ya, kan? *huhuhu*

            “Nah, bantu Ummi angkat karpet yang cokelat ini.”

            Aku mengeluh dalam hati. Karpet cokelat yang dimaksud Ummi amat berat. Sudah agak lapuk, terlalu tua. Kalau diberdirikan, bakal merunduk kayak nenek-nenek sakit pinggang *kena jitak sama nenek xP*. Dan beratnya ya Allah, bikin badan jadi encok.

            “A-a-a..anu.. Aya belum selesai nyapu, Mi. Nanti dulu ya?” Aku cengengesan, menunjuk karpet yang kotor (sebenarnya bersih).

            Ummi menggeleng. “Nyapunya nanti. Ini dulu, diangkat, dibentangkan di teras abu-abu. Ayo, segera!”

            Aku menggeletakkan sapu begitu saja. Langsung meloncat mendekati Ummi.

            Hari Sabtu. Hari yang spesial sekali di minggu ini. Karena, hari ini ada acara kopdar grup Tsamarah. Pertemuan dengan semua anggota grup. Mengadakan game-game seru di setiap kloter. Ummi mengajak kloter emak-emak bermain tebak-tebakan sahabat nabi, berkenalan, dan lainnya (bahkan aku nggak tahu apa yang akan dikerjain sama emak-emak di teras depan tu). Aku menjadi guru di kloter anak-anak akhwat, mengajari mereka membuat bunga dari tisu. Dan, Jaihan, menjadi guru di kloter ikhwan, mengajari adik-adik lelaki itu membuat kura-kura dari botol bekas. Keren? Ya iyalah *sok ni ye!*… Masya Allah..

            Tapi, kalian tahu nggak istimewanya itu di mana?

            Istimewanya…

            Aku…

            Bakal…*eh, eh, insya Allah*

            Ketemu…

            Sama..

            SAHABAT MAYAKU!!!

            Yup! Sudah bisa ditebak itu adalah Jaihan. Gadis sulung berumur dua belas tahun yang bersahabat denganku *wih, padahal gak pernah ketemuan ya*. Kami memiliki hobi yang sama, suka bertukar ilmu, dan lainnya… Jadi, sudah bisa ditebak, bahwa asyiiiiik jika bisa ketemu sama Dzakiyyah Jaihan yang pinternya kayak saiah *hehehe xD kan emang betul..?? semoga aku kayakmu jugak ya, Jaihan.... hihi.. aamiiin, doain ya!*

            Setiap kali mengingat itu, aku selalu menyunggingkan senyum. Sembunyi-sembunyi senyum senang. Cengar-cengir sambil memberes-beres. Woi, ini adalah pertemuan yang spesial sekali… Aku yakin, ini pengalaman yang amat berkesan sepanjang hidupku.

            “Kakak mikirin apa?” Faqih memandang aku yang hanya menatap kotak aqua gelas.

            “Eh, eh, eh, eng.. enggak apa-apa, kok!” Aku gelagapan, nyengir lagi.

            Ciee… apaan tuh!” Faqih jail menggoda. “Ngelamunin apa, coba?”

            “Ada deh.. Ih, jangan usil, deh!” Aku melotot. Faqih cengengesan, beranjak mengambil sapu.

            “Nah.”

            “Buat apa?” Aku bingung. Sapu? Buat apa? Loh, bukannya kedua karpet yang sudah kubentangkan ini sudah diusap.. eh, disapu?

            “Disapu, lah?” Faqih ikut bingung. Tapi, aku bisa melihat cengiran iseng di bibirnya.

            “Sudah disapu, tahu! Lu jangan suka ngejailin orang! Sudah, pergi sana! Main, jangan ganggu aja!” Aku beranjak berdiri, mengacung sapu tinggi-tinggi.

            Faqih sudah kabur dengan Fathimah dan Fairuz.

            Padahal aku tidak berniat memukulkan sapu padanya. Aku hanya mau menyapu dinding atas. Keliatannya banyak debu, jadi sapulah sikit…

            “Woii, kakak ngapain tuh!” Fathimah meniru Faqih yang tadi menggangguku.

            “Nyapu..” jawabku santai, cengar-cengir lagi.

            “Kak Aya salfok woi.. salfok!” Faqih tertawa lebar. “Masak dinding disapu?”

“Biar saja!” Aku melotot       

“Kenapa dindingnya disapu, Aya?” Kepala Andung (panggilan nenekku) menyembul dari bingkai pintu.

            “Ini, kotor..”

            “Buat apa disapu?” tanya Andung lagi.

            “Iya, ini kotor… sapu sikit je, kot..” Aku nyengir.

            Andung menggeleng-gelengkan kepala, kemudian kembali masuk. Sedangkan Faqih dan Fairuz sudah menjailiku dari samping kanan-kiriku. Fathimah sudah sibuk dengan sepeda kecilnya.

            “Ngapain?” Aku bertanya tajam.

            “Eng..enggak.. Fairuz, kabuuuuurrr!!!!” Faqih tertawa-tawa mengajak adiknya berlari kabur dari sisiku. Aku berpura-pura memasang wajah galak pada Fairuz (tapi bibirku menyimpul senyum jail) yang menatapku sambil menggantungkan jarinya di mulutnya, tertawa menatapku.

            “Kabuuuuurrr!” Faqih memprovokasi adiknya.

            Kabuuuulll!!” Fairuz ikut-ikutan, tertawa-tawa meniru.

            Aku sudah kembali masuk ke rumah. Membereskan ruang tamu, kamar, ruang komputer, dapur, hingga ruang makan yang akan menjadi tempat aku dan Jaihan *duh, jadi gemesss* mengajari adik-adik membuat bunga tisu dan kura-kura botol bekas.

            Saatnya menyiapkan peralatan bunga! Lalu, mandi yaaah.. *woiii, belum mandi??? 0_0*

***

Aku menahan gerah di depan pagar. Sudah pukul 13:24, Ummi menyuruhku menunggu teman-temanku dan para ibunya yang akan datang ke rumahku di depan pagar.

            “Panas, Kak?” Faqih yang baru pulang dari kedai dekat rumah menyapaku, nyengir.

            Aku hanya menimpalinya dengan mendengus malas.

            Siang hari, cuaca terik. Angin bertiup panas. Kertas di tanganku yang mengipas-ngipas tidak membantu banyak. Benar-benar panas, kota Pekanbaru terasa gersang kayak padang pasir.

            “KAK!!!!MASUK YOOOOOKKK!!! MAIN DI DALEEEEMM!!!” Fathimah berteriak keras-keras, lantang. Aku yang sudah berayun-ayun di ayunan hanya membalas, “Mainlah sorang-sorang..”

            Merasa gagal, Faqih pula yang mengganggu.

            “KAAAAAAKKKKK!!!! MAAAIIIINNN YOOOOOKKK!!!” Dasar tidak mengerti, Faqih berteriak semakin kencang, semakin kalap, semakin lantang, semakin keras…. Dan akhirnya…

            “Faqiiihhh!!!! Jangaaan teriaaak-teriaaak!!! Adiiik Faizaaa lagiii tiduuuuurrr!!!!” Andung dan Ummi berseru padanya.

            Faqih menggaruk kepala sambil memonyongkan bibir, melengos pergi. Aku hanya tertawa ringan melihatnya.

            Kak Aya, macuk yok,” Fairuz menggemaskan membujukku.

            Aku tersenyum, mengikuti gerak tangannya yang menuntunku. Ternyata dia membawaku ke ruang tamu, kemudian dia berdiri di atas kursi, memanjat, mengambil sebuah buku di rak putih berbentuk tulang daun.

            Buku itu disodorkannya padaku.

            Kak bacain mammad papatih, Kak!” pintanya. Yang artinya : Kak bacain kisah Muhammad Al-Fatih, Kak!

            “Oke,” Aku tersenyum, memangkunya, kemudian membacakan komik berilustrasi keren itu. Aku merubah suara asliku seperti suara pengisi suara di account You Tube IGTV.

            Ciaaak! Ada yang sok-sok mirip pelakon suara di IGTV!!!” Faqih menggoda.

            Aku mengabaikannya, terus membaca. Fairuz mendengarkan dengan senang. Seru sekali membaca komik itu dengan suara itu.

            “Ayaa!! Tolong Ummi buatin susu adek Faizaaa!!” Terdengar seruan Ummi dari kamar.

            Aku tidak perlu disuruh dua kali, langsung sigap ke meja dapur. Rasa-rasanya, mendengar kata “susu” atau “adek Faiza”, langsung macam ada sinyal siaga satu. Status awas. Gawat darurat. Entahlah, pokoknya seperti itu.           

            Dua menit, aku langsung menyerahkan botol susu kepada Ummi. Lalu aku ke dapur. Menatap pojokan yang sudah berisi peralatan membuat bunga tisu. Aku menyeka dahi, beranjak mendekati meja. Meraih gelas, minum.

            Lalu aku membantu Andung, meneriaki Faqih, Fathimah dan Fairuz yang bermain pasir. Beres-beres, sepertinya orang-orang akan tiba di menit ini.

***

Dugaanku tepat, tidak meleset.

            Tepat saat aku sedang membaca novel di ruang makan, terdengar seruan Ummi dari kamar. Aku yang sedang minum sambil membaca menjadi tersedak.

            “Ayaaaa!!! Ada yang datang di depaaaannn!!” Ummi yang sedang memasang cadarnya berseru dari ruang komputer (kalo teriak di kamar, nanti Faiza bangun).

            “Masuk, Buuu!!!” Ummi berseru, mendorong pundakku dari belakang, menyuruhku segera menyambut tamu di depan.

            “I-iya! Alaikumussalam… Masuk, Bu!” Tuh, kan, gara-gara tergesa cara menjawab salamku saja jadi kayak orang Turki membalas salam. Aku nyengir, memperbaiki kerudung. Berdiri tegap, merubah senyum yang lebih baik.

            “Ini kak Aya, ya?” Sosok itu bertanya padaku.

            “Iya, Bu.. Ayo masuk, Bu..” Aku tersenyum, menilik sosok gadis kecil di belakang ibu-ibu itu. “Yuk, dek, masuk… Namanya siapa?”

            “Masuk, Bu!!” Ummi yang sudah berpenampilan lebih baik *dibandingkan kayak tadi, pake daster doang >_<* ikut menyambut dua ibu-ibu itu.

            Ummi dan ibu itu saling bersalaman, cium pipi kiri-pipi kanan.

            “Ayo, Aya, ajak adeknya kenalan!” Ummi menyuruhku. “Ayo, cepaat… Itu kan, nanti jadi murid kamu nanti..”

            Aku yang memperhatikan ibu itu menjadi gelagapan. Menatap gadis kecil berkerudung biru navy itu. Memasang senyum ramah. “Nama adik siapa?”

            “Sofia,” jawabnya sambil tersenyum malu.

            “Ooh, Sofia umurnya berapa?” tanyaku sambil mengajaknya ke ayunan di teras abu-abu. Berusaha membuat keakraban dengannya. Lah, namanya saja baru ketemuan…

            “Sepuluh tahun,” jawabnya kalem.

            “Oooh,” Aku manggut-manggut. “Kamu anak ke berapa?”

            “Anak keenam..” jawab Sofia.

            “Oh? Bersaudara berapa?” Aku sudah bak wartawan profesional, bersiap dengan pena dan notebook serta kamera—sayangnya kameraku saat itu hanya dua manik hitam yang menatapnya akrab.

            “Enam bersaudara,” jawab Sofia. Dia tersenyum, sepertinya sudah bisa beradaptasi. “Sebenarnya delapan, tapi dua lagi keguguran,”

            “Oh, masya Allah,” Aku menatapnya bersimpati. “Oiya, kamu berbakat apa?”

            Sofia menggeleng, tidak tahu.

            “Eh, maksud kakak, kamu suka ngapain?” tanyaku.

            “Suka bersepeda..” jawabnya. Aku hanya tersenyum. Sudah kuduga, Sofia saja bersekolah formal. Tentu saja dia tidak tahu di mana letak bakatnya.

            Tamu pun berbondong-bondong datang. Ada yang membawa dua, tiga atau satu anak.

            Setelah kedatangan Sofia, Aida sudah datang. Juga Sayyid bersama adiknya. Lalu Habib dengan adiknya Ibrahim. Berbondong-bondong. Aku tersenyum meladeni adik-adik itu. Apalagi Sayyid, adiknya (sorry ya, namanya lupa), Habib dan Ibrahim bermain ria di karpet cokelat. Berguling-guling. Bergulat. Bertarung. Sedangkan Faqih hanya menatap kerumunan itu dengan cengiran. Sepertinya dia ragu hendak bergabung—woi, padahal dia yang paling lasak di rumah? Macam adik-adik tu?

            Sofia kemudian kembali dengan ibunya.

            Aku yang tadi hendak mengajaknya mengobrol kembali, menjadi menggaruk kepala. Kusandarkan punggung ke ayunan. Kurapikan kerudung yang lecek. Kutonton adik-adik yang sedang bertarung. Hebat, pikirku dalam hati. Sepertinya perang ini sehebat perang Barathayuda atau Bandung Lautan Api *lebaaay!*

            Aku diam, tersenyum.

            Dadaku kembang-kempis. Hatiku berdebar-debar rasanya. Lagi-lagi aku sembunyi-sembunyi senyum. Tapi kali ini, aku malah mencarinya.

            Jaihan? Kau di mana? Kenapa lambat sekali kau tiba di sini? Aku menatap pagar. Amaroh, pertemuan kita akan terjadi sebentar lagi…

            “Kakak ngapain?” Faqih memecahkan lamunanku. Aku menoleh padanya, menyeka keringat di dahi.

            “Biasalah, nunggu si Amaroh,” Aku nyengir mendekap lutut.

            “Sudah ditebak.” Faqih memonyongkan bibir. “Harusnya kak Jaihan nggak usah datang. Kalau datang, nanti kak Aya hanya ngobrol doang. Nggak jadi ngajar..”

            “Eleh, lu jangan sirik.” Aku meliriknya sebal.

            “Faqih nggak sirik, kok. Cuma bilang aja, nanti kalo ketemuan, kak Jaihan sama kak Aya pasti sibuk ngobrol, lupa ngajar.”

            “Hihs, suke betul nak ganggu anak orang. Pergilah!” Aku membuat suaraku menjadi suara anak kecil. Terdengar lucu dan menggemaskan *perasan sangat lah tu*. “Makanya, jangan suka nengok orang. Ajaklah orang berkawan.”

            “Tu lah! Sebab berkawan sampai lupa nak ngajar. Woiiii!!! Ngajar, ngajar, ngajar, ngajaaaarrr!! Ya udahlah, biar Faqih aja yang ngajar sama kak Sofia.” Sok bergaya, Faqih menyilangkan tangan di dada sambil mengucapkan kalimatnya yang terdengar mantap.

            “Heleh, kau disuruh berkawan je tak nak, apalagi kene suruh ngajar. Cume bise diam, macam patung je, kot.” Aku mengolok, tertawa.

            Faqih mendengus, “Biarlah! Faqih berani, pun!”

            “Hah, kalau berani, ajaklah diorang semua main. Jangan kau diam je kat sini.” Aku tertawa. Oi, setiap kali kami beradu kata dengan bahasa Malaysia, selalu terasa seru.

            “Dah lah, kakak pun sibuk je nak suruh-suruh orang.” Faqih menyilangkan tangan di dada, beranjak masuk ke rumah.

            Aku tertawa, ikut masuk ke rumah. Meraih novelku. Bosan, nggak ada kerjaan. Para adik-adik kloter akhwat belum datang, masih separuh. Itu pun hanya mau dekat-dekat dengan emaknya masing-masing. Kloter ikhwan sibuk berperang. Mendingan aku baca, kan?

            “Aya! Ajak adik-adiknya main!” Baru terlewat lima kalimat, seruan Ummi terdengar dari ruang tamu. Aku meletakkan novel, beranjak ke teras. Mengusap peluh yang mengalir di wajah sebalku.

            Ternyata di depan pagar sudah tiba teman yang lain. Aku tersenyum menatap seorang gadis yang membawa ransel di punggungnya. Tersenyum menyapa, mengajak mendekat.

            Gadis yang membawa tas itu hanya membalas senyumku, menunggu Umminya.

            “Ayo, segera masuk ke dalam sana!” Umminya berseru dari pintu mobil.

            “Ayo, masuk!” Aku melambaikan tangan dari teras.

            Gadis yang membawa tas itu tersenyum, mengajak dua gadis lain mendekatiku. Aku pun mendekatinya. Aku mulai bertanya, mengajaknya mengobrol.

            “Namamu siapa?” tanyaku. Tingginya hampir setara denganku, tapi sedikit lebih pendek. Kurasa dia adalah salah seorang muridku nanti.

            Dia tidak menjawab, terus menatap Umminya dari kejauhan.

            Aku menyunggingkan senyum. Sudah terbiasa melihat pemandangan gagap seperti ini. Woi, dari awal orang datang hingga detik sekarang, semuanya terlihat gagap kecuali emak-emaknya.

            Sedangkan gadis kecil bergamis pink cerah bermain dengan gadis sebayanya yang bergamis ungu.

            “Umurmu berapa?” tanyaku akhirnya, malas menunggunya menjawab pertanyaanku.

            “Dua belas,” jawabnya tersenyum.

            “Oh, usiaku sebelas. Berarti aku manggil kamu kakak, ya?” ujarku.

            Dia hanya diam. Manik hitamnya menyapu wajahku. Senyumnya terpilin. Aku tersenyum lagi, walaupun memendam heran di hati. Serasa ada hal aneh? Tentu saja!

            Umminya mulai memasuki pagar bersama Abinya.

            “Kamu Aya, ya?” Tiba-tiba kakak itu bertanya, tersenyum.

            “Eng.. Iya. Emangnya kamu siapa, Kak?” tanyaku tersenyum.

            “Aku Jaihan.”

            Deg! Seperti sinyal. Aku sontak menjulurkan tangan. Menjabat tangannya erat. Lalu berpelukan.

            Amaroh!” seruku pelan.

            Khadijah!” balasnya, lalu kami tertawa.

            Penantianku akhirnya berakhir juga. Aku dan Jaihan tertawa bersama. Sama sekali tidak menyangka bahwa pertemuan kami akan terjadi di saat situasi gugup ini.

            “Mi, itu kak Aya tu, ya, Mi?” Gadis kecil bergamis pink bertanya pada Umminya yang meletakkan kotak es krim.

            “Iya, ayo, kenalan, lah!” Umminya yang repot menurunkan barang dan mengajak dua anak laki-laki ciliknya menjawab.

            “Nada yang mana, Kak?” tanyaku sambil menepuk pundak Jaihan.

            “Ini, yang gamis pink,” jawabnya menepuk bahuku.

            “Hai Nada.” Aku tersenyum pada Nada. “Ayo, Asisten, kamu siap membantuku?”

            Nada hanya nyengir.

            “Oh ya, Kak, katanya punya adik hanya tiga, ini kok empat? Nada punya kembaran, ya?” tanyaku lugu. Dia hanya menimpaliku dengan tawa ringan.

            “Enggak, ini sepupu kami. Namanya Zakiya Natifah. Sejak kecil, dia suka bermain dengan Nada.” Jaihan tersenyum.

            “Ooh, tapi keliatannya seperti anak kembar saja.” Aku memandang Zakiya dan Nada.

            “Yuk kita masuk.” Jaihan mengajak. “Aku mau siap-siap, sebentar lagi ngajar!”

***

Setelah semuanya siap, kami mulai membuka pertemuan. Awal-awalnya mengucapkan kalimat pembuka, lalu disusul dengan perkenalan, lalu menyuruh asisten masing-masing (Nada asistenku, Faqih asisten Jaihan) untuk membagi-bagikan peralatan. Lalu, menyuruh salah satu di antara mereka untuk menyebutkan nama benda yang dibutuhkan. Dan, kemudian, kami berdua mulai mengajar.

            Namun, saat sebelum mengajar…

            “Kak, Kak Jaihan!” Nada yang di sampingku berseru pelan kepada kakaknya.

            Jaihan menatapnya, bertanya lewat kode alis.

            “Cepatlah dikasih, Kak, nanti lupa!” Gadis pink itu tersenyum ceria. Kemudian dia menoleh padaku. “Kak, Kak Aya, Kak Jaihan ada—“

            “Psstt!!” Jaihan menempelkan telunjuk ke bibir sebagai isyarat dengan mata melotot mengancam.

            Nada nyengir, menggaruk kepala. Aku hanya menatap Nada tersenyum, lalu mengernyit ke arah Jaihan yang sibuk mengeluarkan sesuatu dari ranselnya. Ada apa sih? Kok rahasiaan begitu?

            Tiba-tiba, Jaihan menjulurkan sesuatu kepada Nada, menyuruhnya memberikan sesuatu itu padaku.

            Nada cengar-cengir menerima, lalu memberikannya padaku.

            Aku menerimanya, tersenyum. Kutatap sesuatu yang diberikan oleh Jaihan. Mataku membesar saat melihat sesuatu di tanganku.

            Lukisan Mimpiku.

            Aku bersorak dalam hati. Menatap Jaihan yang mengamatiku dari jauh. Aku tersenyum, bilang terima kasih. Dia balas tersenyum, mengangguk.

            Aku meletakkan buku itu di sampingku, di belakang Nada. Kuhela napas, tersenyum melihat sampulnya.

            Jaihan, kau benar-benar sahabatku yang baik.

***

KBM pun dimulai.

            Aku sabar mengajari adik-adik kloter akhwat. Mereka tampak antusias sekali, apalagi Nada, Zakiya, Afifah, Fakita serta Khoiriah. Banyak bertanya, banyak mengeluh. Aku sabar meladeni.

            Sesekali aku melirik Jaihan dan Faqih yang mengayomi kloter ikhwan. Aku ingin tertawa, tapi merasa kasihan. Lihatlah, Jaihan kepayahan menyuruh adik-adik itu diam, duduk rapi mendengarkan penjelasannya.

            Aku merasa biasa saja dengan semua tingkah itu. Oi, aku sering mengajar adik-adikku sendiri. Belajar sains, mengaji, ataupun membaca bersama. Sekali disuruh diam, hanya duduk rapi tiga detik. Lepas tu bertingkah lagi.

            Waktu terus bergulir. Proses KBM-ku berjalan lancar, Alhamdulillah. Soalnya sih, ada Nada juga yang bantuin dan adik-adik akhwat nggak lasak amat. Hehe.

            “Oke, bunganya sudah jadi!” Aku berseru memprovokasi kloterku.

            “Yeaaay!! Alhamdulillah!!” Mereka ikut-ikutan. Dalam kilatan manik mereka, sekilas kulihat rona terpesona dan rona senang.

            “Oke, sebelum bubar, yuk bantuin kakak beres-beres!” Aku berseru mengajak.

            Nada, Zakiya, Sofia, Afifah dan Khoiriah bangkit membantu. Sofia, Attira dan Aida sudah kabur duluan. Yah, tak apa-apa, lah, aku menyimpul senyum.

            “Nada, kumpulkan sampah-sampahnya. Zakiya, bantu si Nada. Khoiriah, tolong angkat semua kue-kue ke meja.” Aku menyuruh sambil mendekati Jaihan.

            Nada, Zakiya dan Khoiriah melaksanakan perintahku. Sedangkan aku segera mendekati Jaihan.

            “Oke, sis, apa yang perlu kubantu?” Aku tersenyum menatap keriuhan kloter ikhwan. Kutatap Jaihan yang menyimpul senyum. Selintas kulihat rona pengaduan di sana.

            “Bantu aku ngurusin adik-adik ni,” jawabnya sambil memonyongkan bibir. Aku sigap meraih glitter yang dipegang oleh Faiz.

            “Mau dibantu, Dik?” tanyaku. Dia mengangguk sambil berkata, “Tolong taburkan, Kak.”

            Aku menumpahkan sedikit glitter ke telapak tanganku, lalu menyodorkan glitter itu padanya. “Nah, taburkan sendiri, ya.”

            Faiz mengangguk, kemudian pelan-pelan menaburkan glitter ke punggung kura-kura botol bekasnya.

***

Proses KBM-ku dan Jaihan berakhir.

            “Ternyata sulit mengurusi adik-adik lelaki tu.” Jaihan berbisik, mengeluh padaku. Aku yang sedang serius mengelap cat minyak yang bertumpahan di lantai menoleh.

            “Tentu, Jaihan. Itu bukan fenomena baru.” Aku tertawa. “Kalau kamu tahu, aku sering mengalami itu dengan semua adik-adikku.”

            Jaihan meraih aqua gelas yang airnya tersisa seperempat. Menuangkan air ke tisu yang dipegangnya. “Oiya, Faqih kok diam aja, ya?”

            “Itu biasa, Jaihan.” Aku serius. “Si Faqih memang berwatak begitu jika berada di keramaian.”

            Jaihan manggut-manggut, “Hmm, kalo aku liat di video kalian, kok dia aktif banget?”

            “Haha, nggak ada berhenti bicara, kan?” Aku tertawa lagi. “Dia memang begitu. Kalau berada di tengah-tengah keramaian, dia memang pendiam. Sekilas dilihat orang, dia itu berwatak anteng, diam, baik banget. Tapi, aslinya?”

            Kami berdua membereskan sisa-sisa KBM. Mau menyuruh adik-adik? Mengajak mereka? Jangan harap, lah. Semuanya sudah kabur duluan.

            Tapi, kami membereskannya berdua. Menyapu, mengelap cat di lantai, mengumpulkan sampah sambil mengobrol.

            Pertemuan yang benar-benar menyenangkan, asyik, berkesan, dan spesial, walaupun hanya sebentar.

***

Aku meraih buku tipis karya Jaihan, Lukisan Mimpiku. Aku ingin membacanya sebentar. Lagian, Jaihan sedang membantu Umminya mengangkat kotak es krim dan pernak-pernik lainnya.

            Tiba-tiba, selembar kertas jatuh dari sisipan buku. Mataku membesar. Perlahan aku meraihnya.

            Aku mulai membaca isinya.

Kepada temanku, Aya

            Assalamu’alaikum Aya..!

            Jaihan senang bisa berteman dengan Aya, meskipun tidak pernah berbicara dengan Aya. Jaihan kepengen menjadi seperti Aya.

            Oh, ya! Jaihan senang banget dapat hadiah buku dari Aya, terimakasih ya, bukunya… isinya bagus…^_^. Tapi, Jaihan sekali duduk bukunya langsung tamat, hihi.. >_<.. Seneng, kok, bacanya.

            Jaihan dari dudlu kepengen bertemu dengan Aya, tapi sayangnya Aya tinggal di Medan. Dan sekarang Aya sudah di Pekanbaru. Yuhuuu… eh, tapi kita nggak bertetanggaan. Yaaaahhh… tapi nggak apalah, kalo ada dauroh kan kita bisa bertemu, tinggal janjian aja (emang gampang?)

            Jaihan kepengen jadi sahabat Aya sampai besar… Kita bersahabatn, yuk…!

            Oke, Aya. Sudah dulu suratnya, ya…! Ini ada buku dari Jaihan, semoga saja bisa membalas hadiah dari Aya ^_^

            Salam Hangat : Jaihan

 

Aku tertegun. Sempurna tertegun. Betapa indah pertemuan ini. Spesial sekali. Dan, aku amat bersyukur bisa dipertemukan oleh Allah dengan sahabat terbaikku, Jaihan.

            Ya, Jaihan, kita akan bersahabatan selamanya… sampai kita dewasa! Aku berjanji untukmu, karena persahabatanmu denganku amat sejati dan setia.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I Always Love You

Berpetualang bersama RobotBear

Tatapan Pertama