KEMERIAHAN KEMBANG API DI LANGIT KOTA BENGKALIS
KEMERIAHAN KEMBANG API DI
LANGIT KOTA BENGKALIS
BY: Fatya Bakhitah
Sulaiman
Malam yang indah. Bulan
bersinar dengan cahayanya yang memukau di ufuk langit. Bintang-gemintang
bertaburan, menemani bulan yang menatap kemeriahan di daratan kota Bengkalis.
Ombak terdengar berdebur pelan, menghempaskan air dengan dentuman yang
berirama. Suasana malam yang menyenangkan bagi penghuni Bumi.
Khadijah dan Khalid duduk
di teras rumah Opah (panggilan nenek dalam bahasa Melayu), Ibuknya Ummi. Mereka
duduk bersebelahan di kursi kayu yang diukir dengan ukiran yang indah. Di kursi
lain, ada Opah dan Ummi yang duduk bercerita, bercengkerama bersama.
“DUAAR! BUUM! DUAAR!”
Benar sekali. Itulah
dentuman kembang api yang meledak dilangit kota Bengkalis. Kembang api yang meledak
susul-menyusul di lembayung langit. Malam ini, festival kembang api,
penyambutan tahun baru.
“Masya Allah.. Pesta
Kembang apinya udah dimulai, Khalid!” Khadijah berbicara setengah berbisik
kepada Khalid. Matanya menatap langit malam yang bercahaya.
“itu berarti acara
penyambutan tahun baru sudah dimulai.” Khalid hanya menyahut pendek,
mendongakkan kepala, menatap wajah langit yang dihiasi ledakan kembang api.
“Tetapi, kita sebagai
umat Islam tidak boleh ikut merayakannya, loh!” seru Opah sambil mendekati Khadijah
dan Khalid.
“Kenapa Opah?” tanya
Khadijah, menatap wajah Opah.
“karena, nabi Muhammad
shallallahu ‘alahi wa sallam tidak pernah merayakan hari raya agama lain.
Bahkan, tahun baru Hijriyah pun tidak pernah dirayakan oleh Nabi shallallahu
‘alahi wa sallam.” Opah menjelaskan sambil duduk disebelah Khadijah.
“Oh, begitu..” Khadijah manggut-manggut,
tampak paham.
“Bahkan, karena nabi
Muhammad tidak melakukannya, maka hal itu turun-temurun tidak dilakukan. Para
sahabat, para tabi’in, para tabiut tabi’in, tidak ada satupun yang berani
mengerjakannya.” Ujar Opah sembari menengadah, menatap ratusan kembang api yang
meledak susul-menyusul, sambung-menyambung.
“Yang boleh kita rayakan
hanyalah hari raya Idul Fitri dan Idul Adha.” Lanjut Opah. “karena itulah hari
raya kita.”
Khalid dan Khadijah
mengangguk sepakat. Tersenyum simpul saling tatap.
10 detik setelah itu..
“Hmm.. Opah bilang hari
raya Idul Fitri, malah buat Khalid mengenang hari raya Idul Fitri tahun lalu.”
Khalid mengangkat suara, memecah hening.
“Kenapa?” Ummi balik
bertanya, heran.
“Yeah, Khalid jadi
terkenang akan keindahannya. Lampu-lampu colok yang dinyalakan tiap malam,
karnaval yang panjang di malam hari raya, kembang api yang ratusan kali meledak
di langit.” Khalid menyebutkan semua kenangan manis hidupnya.
“Oiya,” Khadijah ikut
menambahkan. “Karnaval yang panjang dan sampai puluhan tim, lampu-lampu colok
yang disusun rapi membentuk gambar masjid, dan lain-lain. Bahkan, hari raya
menjadi hari yang paling ditunggu-tunggu. Karena, kue-kue buatan Ummi dan
pahalanya yang melimpah jadi bikin naksir.” Khadijah terkekeh membayangkan masa
lalu, satu tahun silam.
“Hahaha… kamu ada-ada
saja!” Opah tertawa renyah sambil menepuk pundak Khadijah.
“Kalau di Sumatra Utara,
khususnya BatangToru, malam hari Raya Idul Fitri hanya diisi ledakan-ledakan.
Tepatnya jam dua belas dan jam satu malam, kembang api-nya udah meledak
dilangit. Yang sering buat pesta kembang api di malam hari raya itu, para
pekerja di Tambang Emas Martabe. Ingat nggak, dua tahun lalu kita pindah
kesana?” Khadijah mengingatkan hari raya dua tahun silam sambil samar menyikut
lengan Khalid.
“Tetapi, lampu colok dan
kembang api atau petasan itu banyak kekurangannya, lho!” Ummi menambahkan. Nah,
kalau Ummi sudah seperti ini, dua anak kembar itu pasti sudah berebut, saling
sikut untuk bisa mendapat pelajaran.
“ kekurangannya apa,
Ummi?” kata Khadijah, penasarannya mulai berkibar.
“Kekurangannya, adalah
dengan bermain petasan atau membuat lampu colok merupakan perbuatan tabdzir
atau boros, loh! Karena, keduanya bisa membakar uang.” Ummi menjelaskan,
menggeser kursi plastik menuju kedepan Khalid dan Khadijah.
“membakar uang? Maksudnya
gimana, Mi?” serempak Khalid dan Khadijah melempar tanya, sekaligus menunjukkan
tanda tidak mengerti, mengernyitkan dahi.
“Maksudnya begini,” Ummi
berkata takzim. “Petasan atau kembang api dan lampu colok terbuat dari api,
bukan? Nah, itu semua sebenarnya tidak memberikan manfaat. Hanya untuk memberi
kemeriahan sesaat, kemudian habis. Nah, sama saja dengan membakar uang. Uang
digunakan untuk membeli petasan, kemudian petasannya habis. Sama saja dengan
ibarat membakar uang.” Kata Ummi menjelaskan.
“Oh iya,” Khalid hanya
menyahut pendek, mengiyakan bersepakat. “Tetapi, lebih baik uang milik kita,
kita gunakan untuk bersedekah dibanding beli petasan, kan? Kalau bersedekah
malah dapat pahala. Kalau beli petasan, ibarat membakar uang. Uang habis hanya
untuk membeli barang yang tidak berguna. Benar bukan?” Khalid menyimpulkan.
“kjempeflot Khalid! Memang
seharusnya kita seperti itu. Coba saja bandingkan, pahala sedekah yang biasanya
dikalikan sepuluh kali lipat, pahalanya juga mengabadi sampai kita di akhirat.
Kalau kita bandingkan petasan, uang kita habis hanya untuk membeli yang hanya
memberikan kesenangan sesaat. Setelah itu, habis. Nggak mengabadi. Jadi, kalian
mau pilih yang mana?” Ummi membenarkan perkataan Khalid.
“Bersedekah Mi!” seru
Khalid dan Khadijah serempak.
“kjempeflot itu, artinya
apa?” Opah tampak bingung, sembari menepuk bahu Ummi.
“kjempeflot artinya bagus
sekali, Mak. Itu bahasa Norwegia..” Ummi menjelaskan malu-malu pada Opah.
Opah tampak
menggeleng-gelengkan kepala. “Kalian ada-ada saja. Menggunakan bahasa negeri
lain.”
“Hehe..” kata Khalid,
Khadijah dan Ummi serempak.
#cerivitasTantanganMenulis30hari
Komentar
Posting Komentar