Layang-Layang kebanggaan suku Melayu



Layang-layang kebanggaan suku Melayu


By: Fatya Bakhitah Sulaiman



Seminggu terakhir di China. Abi pun sudah selesai bekerja di Negara Tirai Bambu ini. Abi harus bekerja di Negeri Jiran dan pulau diseberangnya, kabupaten Bengkalis. Yeah, dua kota ini merupakan kampung halaman Ummi Khadijah dan Khalid. Maka, jangan heran jika Ummi dan dua anak (Khalid dan Khadijah) itu sangat senang untuk bisa menjejakkan kaki di kampung halaman.



***


3 hari sudah berlalu di Bengkalis. Musim panas menyentuh kota. Terik matahari mengepung dari segala arah. Langit nyaris bersih dari saputan awan. Angin pun sekarang bertiup lebih kencang.


“hari ini, kita field trip ke Pantai Selat Baru ya!” pinta Ummi sambil mengulum senyum yang lebar.


“apa? Field trip ke pantai selat baru? Alhamdulillah.. asyik amat itu.” Khalid bersorak senang.


“nggak lah Mi! panas-panas begini asyiknya buka laptop di depan AC.” Khadijah tampak menggeleng kencang, tidak terima.


“huh. Kalau nggak tahan sama panas, berarti kamu enggak anak Melayu!” Khalid tampak menggoda kembarnya itu.


“emangnya kenapa?” Khadijah melotot, berkacak pinggang. “kan memang panas. Aku nggak peduli, biar saja dibilang nggak anak Melayu.” Lanjut Khadijah jengkel.


“Yeah, terserah kamu saja. Disana, ada festival ‘layang-layang wau’ loh! Makanya aku senang.” Balas Khalid menjelaskan maksudnya.


Khadijah menoleh. “ada festival layang-layang wau? Asyik!” kini anak berambut cokelat itu bersorak riang. “Ummi, tasukete. Khadijah mau ikut juga dong!” pintanya.


“oke. Cepat, bersiap sana. Kita akan segera berangkat!” seru Ummi sambil memakai kaos kakinya.


Khadijah dan Khalid pun melesat ke kamar mereka dan bersiap-siap.


***






Sebuah mobil Pajero sport masuk ke hamparan pasir putih. Khalid, Khadijah dan Ummi turun dari mobil. Ummi menggelar tikar selepas mengunci mobil dengan memasang alarm. Sedangkan Khalid dan Khadijah berlari-lari penuh semangat. Menyisir pantai.
Nguung…nguuung..


Bunyi sambung-menyambung diatas Selat Baru seakan pesawat jet sedang lalu lalang. Tapi sebenarnya bukanlah pesawat tempur, namun Layang-layang berukuran jumbo beraneka warna ada yang hijau, kuning, merah, hitam bahkan warna putih dengan variasi batik berjejer sambil belenggang lenggok di atas langit. Khadijah menatap takjub, sesekali riang berlari mengikuti gerakan sebuah layang-layang wau yang berlenggak-lenggok seakan menari-nari. Ummi menggelar tikar yang Ummi bawa. Khalid hanya berdiri, menengadah menatap langit. Beragam warna-warni menghiasi langit yang luas membiru.


Dua anak itu berlari-lari menyisir pantai. Ummi hanya mengunci mobil dengan memasang alarm. Kemudian menggelar tikar. Lalu, duduk selonjoran dan browsing di Google.


Beberapa menit berlalu..


Khadijah mendekati Ummi. Lelah, sudah.


“Ummi, kenapa mereka main layang-layang di musim panas, Mi? Bukankah lebih nyaman jika main di musim hujan? Tidak tersengat matahari.” Khadijah mengutarakan pertanyaannya kepada Ummi.


Ummi yang sedari tadi menatap langit, segera menoleh.


“emm.. karena, jika musim hujan, angin akan susah ditebak datangnya. Bisa-bisa enggak ada angin. Juga bisa hujan langsung turun. Bahkan, kalaupun ada angin, layanganmu bisa disambar petir.” Jelas Ummi tersenyum usil.


“Aaah.. Ummi.” Gelak Khadijah.


“oiya. Ummi, kenapa sih, layang-layang itu bias terbang?” Khadijah bertanya sambil menatap langit. Menatap ratusan wau berbagai warna, bentuk, bahkan variasi.


“layang-layang bisa terbang karena adanya gaya angkat. Gaya angkat terjadi saat angin menabrak bidang layang-layang. Pada saat yang bersamaan, benang yang terikat pada layang-layang menahan agar layang-layang tidak terbawa angin. Jadilah, layang-layang terangkat ke udara dan terbang!” seru Ummi seraya menjelaskan penuh semangat.


Khadijah yang menatap Ummi hanya ber-“oooh”.


Khalid mendekati Ummi. Sudah lelah juga. Walaupun begitu, wajah putihnya tetap terlihat sumringah. Banyak berceloteh tentang layang-layang wau kebanggaan Malaysia dan suku Melayu.


“angin yang dibutuhkan untuk menerbangkan layang-layang harus kencang, ya Mi?” Tanya Khalid, penasaran.


Ummi menoleh, “emm.. memang harus kencang sih. Tapi jangan menggunakan angin yang kencang seperti Tornado.” Balas Ummi sembari mengelus rambut Khalid.


Khalid tampak berpikir. “angin Tornado itu apa, Mi?”


“angin Tornado adalah angin yang kencang membentuk pusaran. Angin ini mempunyai lima fase. Fase kelima kencaaaaaaaang...... sekali.” Jelas Ummi lagi.


“oh ya. Ada loh, kaum yang diazab dengan angin Tornado!” Khalid menyambung perkataan Ummi.


“kaum ‘Ad! Iya kan?” Khadijah menyahut.


Khalid mengangguk. “awalnya, mereka diazab dengan kemarau. Allah tidak menurunkan hujan setetes pun kepada mereka. Sudah lama waktu berjalan, tetapi kaum terkutuk itu tidak mau bertaubat.  Akhirnya, Allah mengirimkan awan yang gelap berlapis-lapis untuk mengirimkan angin Topan!!” Khalid bercerita.


“melihat awan datang menuju perkampungan mereka, mereka bersorak-sorak senang. Tetapi, nabi Hud ‘alahissalam segera menyergah, ‘itu bukan hujan, tetapi itu adalah adzab yang kamu minta disegerakan datangnya’. Namun, mereka mengacuhkan nabi Hud.” Sambung Khalid sambil berbaring, menatap langit. Menatap variasi dan warna setiap wau. Ada wau harimau, wau bulan (ini kebanggan Malaysia dan suku Melayu!), wau ikan, wau kucing, dan lainnya.


“akhirnya, mereka kecele. Awan itu justru meniupkan angin adzab bagi mereka. Maka, mereka pun habis musnah. Tak bersisa. Bangunan runtuh. Manusia terbang terombang-ambing di bawa angin. Tujuh hari tujuh malam kota itu dihajar angin topan, semuanya musnah tak bersisa. Seperti yang dikisahkan dalam surat az-Zariyat ayat empat puluh satu dan empat puluh dua. Artinya: dan (juga) pada (kisah kaum) ‘Ad, ketika Kami kirimkan kepada mereka angin yang membinasakan, (41). (angin itu) tidak membiarkan suatu apa pun yang dilandanya, bahkan dijadikannya seperti serbuk.(42)” Khalid membacakan surat az-Zariyat ayat 41 hingga 42.


Khadijah terdiam, tampak merenung.


“ih, aku takut kalau Allah buat kita seperti itu. Takut! Syerem..” Khadijah pura-pura manja.


“kan, yang penting kita taat pada Allah dan menjauhi larangannya.” Ummi menasihati.


Mereka pun terdiam. Menatap wajah langit yang dipenuhi wau keren.


“oh ya. Wau banyak jenisnya loh!” kata Ummi.


“masyaaallah.. apa saja Mi?” Tanya Khadijah, penasaran.


“ini, udah Ummi browsing di Google. Coba baca.” Pinta Ummi sambil memberikan smarthphonennya.


Khalid dan Khadijah membacanya bersama-sama, Wau ada banyak jenisnya, Ini dia: Wau barat, Wau daun, Wau katak, Wau bulan, (Inilah wau kebanggan suku Melayu) , Wau burung, Wau ceduk (Wau ini tanpa tulang) , Wau bayan, Wau gubah, Wau gubah kain, Wau gubah kertas, Wau helang, Wau jala budi, Wau kangkang, Wau kapal, wau kikik, Wau kucing, Wau lenggang kebayak, Wau legu, Wau merak, Wau orang, Wau pari, Wau payang, Wau sewah, Wau sobek,( ini hanya untuk dipamerkan, bukan untuk diterbangkan).



alamak! masyaallah..Banyak amat Mi!” seru Khalid, terpana.



“memang banyak Nak.” Ummi menjawab singkat, asyik menengadahkan pandangan ke langit.


“bentuk, jenis dan variasinya masih banyak sekali!” kata Ummi.


Mereka diam lagi.


“Ummi, Khalid ingin main wau loh, Mi!” ujar Khalid tiba-tiba.


Ummi mengambil uang di dalam dompet kecil berwarna cokelat. “nah, uangnya. Beli yang bagus. Beli dua ya.” Pesan Ummi.


“hah! Sungguh Mi?” Khalid tampak tidak percaya.


Ummi mengangguk, ikon sungguh-sungguh.


“Yuhu.. Alhamdulillah. Makasih, Ummi sayang. Grazie Mille!!” seru Khalid dan Khadijah.


“sama-sama Sayang.hati-hati yah..” pesan Ummi.


Sayangnya, Khadijah dan Khalid sudah tidak mendengarkan Ummi lagi. Mereka sudah melesat cepat ke sebuah warung yang menjual layang-layang wau.


 #cerivitasTantanganMenulis30hari




























































































































































































 


 
























Komentar

Postingan populer dari blog ini

I Always Love You

Berpetualang bersama RobotBear

Tatapan Pertama