RAINBOW MOUNTAIN


RAINBOW MOUNTAIN

BY: Fatya Bakhitah Sulaiman

 

Bengkalis menggeliat dalam remang. Semburat cahaya matahari menyinari dari ufuk timur. Awan-awan luas membentang, membentuk awan cirrocumulus. Ombak berdebur pelan, membuat irama menyenangkan. Pagi menyapa masyarakat.

“pagi yang menyenangkan, ya.” Khadijah bergumam pelan, menatap langit sejauh mata memandang.

Khadijah menatap langit dari jendela mobil yang terus berjalan. Ia dan keluarganya akan pergi ke rumah om Urwah, abang Ummi.

***

Tiba disana..

“assalamu’alaikum Salamah!” Khalid mengucap salam sambil memanggil nama sepupunya didepan rumah pamannya. Dia menyeringai didepan pintu.

“waalaikumussalam, kamu sia..” Salamah membuka pintu. Seketika separuh mulutnya terbuka, ternganga.

“Ka-kamu Khalid?!” teriaknya tidak percaya. Anak rambutnya melambai-lambai.

Khalid tersenyum miris, mengangguk sambil menghambur pada Salamah. “tentu saja Salamah.” Balasnya singkat.

“Khalid, ntar dulu ya. Aku mau panggil Abi dan Ummiku yang sedang di dapur. Tunggu sebentar saja!” serunya semangat.

Seketika tubuh Salamah menghilang dari daun pintu.

“Ummi! Abi! Khalid datang ke rumah!” Salamah berteriak histeris.

Umminya Salamah menoleh pada Salamah yang berteriak kencang. “sungguh? Kamu tidak bercanda, bukan?” Umminya Salamah balik bertanya. Memastikan.

Salamah mengangguk kencang. Sambil menarik tangan Abi dan Umminya, ia berlari menuju ruang tamu.

Dua orangtua Salamah seketika saling salam, saling peluk dengan kedua orangtua Khalid dan Khadijah. Om Urwah mengukir senyum lebarnya pada Umminya Khalid dan Abinya Khalid. Sedangkan  Salamah sudah membawa Khalid dan Khadijah kedalam rumah. Kemudian memanggil Walid, Hudzaifah, Ramlah, dan Shafiyyah (saudara kandungnya) untuk menemui Khalid dan Khadijah.

“Walid!  Hudzaifah!” Khalid berseru kencang. Mata hitamnya membulat, berbinar.

Walid, Hudzaifah, Salamah dan Khalid duduk bersila membentuk lingkaran. Mereka berempat bercerita, berbagi pengalaman.

Ramlah dan Shafiyyah pun seperti itu. Khadijah, Shafiyyah dan Ramlah duduk bertelekan lutut. Bercerita, berbagi pengalaman. Setelah lama tidak bertemu, akhirnya hari ini mereka bertemu.

“Kak Juwairiyah dan abang Shilah kemana, Ramlah?” tanya Khadijah disela-sela cerita mereka.

“pergi camping ke puncak gunung.” Ramlah menjawab datar, kemudian disambut anggukan kepala Shafiyyah.

“ke gunung apa?” Khadijah semakin penasaran.

“Gunung Singgalang.” Ramlah menghela nafas. “ Ibu guru mereka mengajak camping kesana. Jauh, di Sumatra Barat.” Jelas Ramlah menelan ludah keprihatinan. “padahal terjal, gunung ternyata banyak rintangan, tapi juga memberikan pengalaman.”

“gunung itu banyak faktanya. Bahkan yang paling keren, gunung bisa menjadi benteng.” Khadijah menambahkan.

“Masya Allah.. apalagi Khadijah?” Shafiyyah penasaran.

“masih banyak. Gunung juga bisa melindungi penghuni desa yang tinggal di kaki gunung dari angin besar yang menerpa.” Lanjut Khadijah.

“terus, puncak gunung itu tidak ada tanaman. Yang ada disana hanya lumut, sedikit perdu dan tanaman liar. Tanaman-tanaman tidak bisa hidup disana karena disana, oksigen cuma sedikit. Apalagi tanahnya tandus.” Kata Khadijah.

“Ckckck.. subhanallah..” Ramlah berdecak.

“sangat banyak juga fakta menarik, ayat-ayat al-Qur’an yang menceritakan, kisah-kisah yang terselip, dan manfaat dari gunung-gunung.” Sahut Khadijah.

“ayat-ayat dari al-Qur’an apa saja Khadijah?” tanya Shafiyyah.

“emm.. surat an-Naba’ ayat tujuh. Artinya: dan gunung-gunung sebagai pasak? Terus, juga ada surat an-Nahl ayat lima belas, artinya: dan Dia menancapkan gunung di bumi agar bumi itu tidak goncang bersama kamu, (dan Dia menciptakan) sungai-sungai dan jalan-jalan agar kamu mendapat petunjuk, juga surat al-Anbiya’ ayat dua puluh satu.” Kata Khadijah.

“kalau cerita yang terselip di gunung, cerita apa Khadijah?” tanya Ramlah.

“yang kutahu ada dua. Satu cerita gunung Sinai, satu lagi cerita Jabal Nur atau Gunung Cahaya. Jabal Nur merupakan gunung yang dipuncaknya ada gua. Namanya, Gua Hiro.” Kata Khadijah menatap langit-langit atap rumah sambil mengusap wajahnya, lelah menjelaskan. Kalau ramai begini, capek menjelaskan. Kalau berdua, rasanya sepi amat.

“Ceritakan! Ceritakan!” Shafiyyah dan Ramlah mencengkeram jilbab Khadijah, meminta cerita.

“Ya ampun.. Kalian nggak tahu ceritanya, apa?” Khadijah tampak jengkel, mengusap wajahnya yang kini basah oleh peluh dingin. “aku haus. Ntar dulu, biar aku minum.” Lanjutnya.

“biar aku yang ambilin.” Shafiyyah meralat. “panas ya?” lanjutnya.

“iya lah..” Khadijah mengucek mata yang terasa gatal.

Shafiyyah melesat ke dapur, membuka kulkas, lalu mengambil botol air minum dari kulkas. Lantas menuangkannya kedalam gelas, lalu menyimpan botol di kulkas, lalu berjalan pelan membawa gelas itu.

“ini minumannya Khadijah..” kata Shafiyyah sambil menyodorkan gelas.

“terima kasih Shafiyyah.. Grazie Mille, Jazakillahu Khoiron..” kata Khadijah. lalu diminumnya tandas.

“nah, kan udah minum, jadi sekarang ceritakan!” kata Ramlah nyengir sambil melirik kearah Khadijah.

“oke deh..” Khadijah mengiyakan.

“nah, awalnya Rasulullah bermimpi. Mimpi itu mimpi yang asli, mimpi yang baik. Dan tidaklah beliau melihat mimpi seperti cahaya Shubuh. Kemudian, beliau dijadikan suka ber-uzlah­ atau menyendiri. Beliau suka menyendiri di Gua Hiro, beribadah didalamnya. Beliau tidak pulang kecuali jika makanan yang beliau bawa ke gua sudah habis. jika makanan beliau habis, beliau pulang dan mengambil bekal makanan untuk beberapa hari, lalu beruzlah lagi di Gua Hiro.” Khadijah menceritakan dengan panjang lebar.

“ketika tepat Rasulullah berusia empat puluh tahun dan beliau masih suka menyendiri di Gua Hiro, datanglah Malaikat Jibril ‘alahissalam dengan rupa manusia yang tampan rupawan. Malaikat Jibril bilang, ‘Bacalah!’. Lalu Rasulullah menjawab, ‘aku tidak bisa membaca’. Lalu malaikat Jibril mendekap Rasulullah hingga beliau merasa berat, lalu melepaskan dan mengulangi perkataannya. Rasulullah menjawabnya dengan jawaban yang sama. Lalu, Rasulullah didekap lagi oleh malaikat Jibril hingga beliau merasa berat. Lalu dilepas lagi dan malaikat Jibril mengulangi perkataannya, ‘bacalah!’. Rasulullah pun menjawabnya dengan jawabannya, ‘aku tidak bisa membaca’. Lalu, Rasulullah didekap dan beliau merasa berat, lalu dilepas dan dibacakan surat al-‘Alaq, ayat satu sampai lima. Kemudian, Rasulullah pun pulang ke rumahnya dengan menggigil ketakutan, seraya berkata kepada Khadijah, istrinya, :selimuti aku! Selimuti aku! Lalu Khadijah pun menyelimutinya dan menenangkannya.” Jelas Khadijah panjang lebar tampa berhenti menarik napas.

“lho? Jadi, kamu istrinya nabi Muhammad?” "eh maksudku meniru nama istri rasul?" Ramlah refleks bertanya, sedangkan telunjuknya mengarah kepada Khadijah.

“aku istri Rasulullah yang pertama. Kamu istri Rasulullah yang keenam. Shafiyyah istri Rasulullah yang kedelapan.” Kata Khadijah.

“kami juga istri Rasulullah?” tanya Ramlah dan Shafiyyah tidak percaya.

“ya ampun! Masa’ kalian tidak tahu?” Khadijah mengelus dahi, tidak percaya akan ketidaktahuan mereka. “Ramlah binti Abu Sufyan, yang lebih dikenal dengan nama Ummu Habibah. Dia saudari adik Ipar Rasulullah, Mu’awiyah bin Abu Sufyan yang sepatutnya dijuluki ‘Paman orang Mukminin’. Terus, kamu juga istri Rasulullah, Shafiyyah. Shafiyyah binti Huyay, anak perempuan dari dedengkot etnis Yahudi. Karena cantik, istri Rasulullah yang lain cemburu dan suka menghinanya, ‘orang Yahudi’. Tetapi, setelah Rasulullah bilang bahwa ia mulia dengan kedudukannya yang merupakan keturunan para nabi, dia membantah kalimat kecemburuan itu dengan berkata, ‘kalian tidak lebih mulia dariku. Karena ayahku adalah Harun, suamiku Muhammad dan pamanku adalah Musa?’. Jadi, kita bertiga istri Rasulullah.” Kata Khadijah.

“oiya.” Ramlah dan Shafiyyah menggaruk kepala masing-masing sambil saling tatap, tersenyum kecut campur salah tingkah.

“oiya. Ketika kamu ke China kemarin, ada gunung apa saja disana?” tanya Shafiyyah sembari mendaratkan tepukan lembut dibahu Khadijah.

Khadijah menoleh. “emm.. ada  loh, gunung yang cantik di China. Namanya, Zhangye Danxia, gunung pelangi. Ini keren loh! Nyata! Al-Qur’an saja sudah mengabarkan.” Khadijah menjawab kalem diiringi senyum iseng.

Seketika, Ramlah dan Shafiyyah serempak berseru, “sungguh? Kamu tidak bercanda kan?”

“tentu saja aku tidak bercanda.” Khadijah menepuk jidat, pura-pura tersinggung.

“Gunung ini memiliki luas 300 kilometer persegi dan merupakan bagian dari Zhangye Danxia Landform Geological Park. Bukit dan lembahnya terdiri atas lapisan warna Merah, Biru, Hijau Zamrud, Cokelat, dan Kuning. Namun, gunung itu tidak ada tumbuhan dan hewan kerana kondisi tanahnya yang tandus.” Khadijah menjelaskan. Ramlah dan Shafiyyah mendengarkan dengan saksama.

“Masyaallah.. dalam surat apa itu dikabarkan?” Shafiyyah mendesak Khadijah. Wajahnya tergambar rona antusiasme.

“emm.. surat Fathir ayat dua puluh tujuh. Artinya: tidakkah engkau melihat bahwa Allah menurunkan air dari langit, lalu dengan air itu Kami hasilkan buah-buahan yang beraneka macam jenisnya. Dan diantara gunung-gunung itu ada garis-garis putih dan merah yang beraneka macam warnanya, dan ada (pula) yang hitam pekat.” Khadijah membacakan surat Fathir ayat dua puluh tujuh.

“kalian cerita apa?” Walid menepuk bahu Shafiyyah.

“cerita tentang gunung.” Shafiyyah menjawab datar.

“gunung apa?” Walid tampak tertarik.

“gunung Zhangye Danxia, Rainbow Mountain, China.” Ramlah menyahut.

“ Gunung itu keren sekali, Walid!” Khalid menepuk pundak Walid.

“kalian pernah kesana?” Walid penasaran.

“enggak! Kami hanya dapat beritanya ketika asyik membuka Google, mencari inspirasi menulis. Kebetulan, ketika kami mencari nama-nama gunung terkenal, ada namanya gunung pelangi, atau Rainbow Mountain. Jadi, kami baca-baca tentang itu dan kami tulis.” Khalid menjawab pertanyaan singkat Walid.

“warnanya kok bisa terbentuk? Darimana warna-warna itu bisa menjelma di gunung itu?” Salamah yang menguping pembicaraan mereka segera mengangkat suara. Penasaran juga.

“menurut Telegraph, warna-warni perbukitan yang menakjubkan tersebut berasal dari batuan pasir merah dan mineral. Hal itu telah terbentuk sejak Periode Kapur, tepatnya dua puluh empat juta tahun yang lalu.” Jelas Khalid.

“Masyaallah.. lama amat ya!” Hudzaifah mengucap kalimat kekaguman.

“ memang lama. Tetapi, kemudian, formasi bebatuan tersebut mengalami pergeseran lempeng tektonik yang sekaligus membentuk pegunungan Himalaya. Hujan dan angin yang menerpa daerah itu selama jutaan tahun silam juga ikut berperan penting dalam membentuk ceruk, lembah, dan pola warna Zhangye Danxia.” Khadijah ikut menjelaskan.

“ckckck.. keren amat ya! Allah memang hebat untuk bisa membuat fenomena alam yang menakjubkan. Mempesona!” sahut Salamah dengan mata membulat jenaka.

“Gunung Pelangi akan menampilkan pola warna yang berbeda-beda. Tergantung pada kondisi cuaca dan pencahayaan matahari. Warna-warni gunung tersebut akan semakin kontras, jika hujan turun sebelumnya.” Lanjut Khadijah.

“Masya Allah.. keren!” Ramlah takjub. Ia semakin memperhatikan.

“memang keren, dong..” sahut Khadijah sambil merangkul Ramlah.

“oiya, aku lapar nih. Kita makan yuk.” Ajak Hudzaifah sambil mengajak semua sepupunya menuju ruang makan. “kita semua makan sama-sama diatas tikar.” Lanjutnya.

“oke.” Shafiyyah mengiyakan.

Mereka semua menuju ruang makan. Walid menggelar tikar. Hudzaifah mengisi mangkuk-mangkuk kecil berbahan aluminium dengan air, untuk cuci tangan. Ramlah menyusun piring, sendok, teko air, dan gelas-gelas keatas tikar. Sedangkan Shafiyyah menyusun hidangan masakan Umminya. Khalid, Khadijah dan Salamah ikut membantu mereka.

Setelah semuanya selesai, mereka makan bersama. Suasana tampak seru dengan tawa canda mereka.

Suasana makan yang seru!

 

#cerivitasTantanganMenulis30hari

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I Always Love You

Berpetualang bersama RobotBear

Tatapan Pertama