Penjara Nabi Yusuf
Penjara Nabi Yusuf
By:Fatya
Bakhitah Sulaiman
Pagi yang meriah di China. Matahari
menyinari setiap sudut kota. Jalan raya dipadati oleh kendaran yang
lalu-lalang. Langit biru nyaris bersih dari saputan awan. Bendera China
berkelepak gagah diatas udara.
“pagi ini, kita akan belajar di
teras rumah, ya!” seru Ummi, mengambil jilbab yang digantung dibalik pintu
kamarnya.
“di teras? Yehe..Alhamdulillah. Khalid
suka banget kalau bisa belajar di teras rumah. Bisa menghirup udara alam,
melihat pemandangan sejauh mata memandang, emm.. pokoknya enak kalau bisa
diluar.” Khalid berseru senang. Ia menyambar buku-buku pelajarannya yang
tergeletak di lantai. Kemudian, ia sigap membuka pintu rumah.
Khadijah ikut menghambur keluar.
Ummi duduk di sudut kanan teras
rumah dan menyandar ke dinding. Khadijah dan Khalid duduk bersila didepan Ummi.
Tersenyum riang satu sama lain.
“ pelajaran kita apa jam
sembilan ini?” tanya Ummi.
“pelajaran Hadits , Mi!” Khadijah dan Khalid menjawab
pertanyaan Ummi serempak.
Mereka mengambil buku berukuran
sedang, tetapi cukup tebal. Di bagian atas sampul cover buku ada huruf-huruf
yang tercetak besar-besar : Kumpulan
Hadits-Hadits
“hari ini kita belajar hadits
kedua puluh lima, hadits tentang teman. Dengarkan ya!” pinta Ummi sambil
meminta buku Khadijah. Membacanya perlahan.
Disaat mereka sedang asyik
belajar di hadapan Ummi, diwaktu yang bersamaan, loper koran tampak menyelipkan
lembaran koran di pagar rumah mereka. Lembaran-lembaran koran tampak bergoyang
ditiup angin. Berkelebat.
Ummi dan dua santri-nya tidak
memperhatikan. Mereka terus berkutat dengan pelajaran pagi ini. Tampak Ummi
yang bercerita, serta Khalid dan Khadijah yang serius memperhatikan dengan
saksama. Sesekali berdecak. Sesekali mengucap pujian untuk-Mu.
“bunyi apa itu?” Ummi bertanya
pelan pada dua anaknya.
Khadijah menggeleng. Khalid tampak
berpikir.
Khalid mengedarkan pandangannya
ke seluruh arah. Khalid tampak mendesah, menelan ludah. Sepertinya ia menemukan
jawabannya.
“koran itu Mi. Korannya
berkelebat sehingga berbunyi.” Khalid memberikan jawaban pertanyaan Ummi tadi.
Ummi menoleh. Benar juga.
“ambilkan koran itu, Khalid. Nanti
mau Ummi baca.” Suruh Ummi pada Khalid.
Tak perlu disuruh dua kali,
Khalid dengan sigap berlari menuju pintu pagar. Tangannya menyambar lembaran
koran yang terselip di pagar. Kemudian, ia kembali ke teras rumah.
“masya Allah… ada penculikan! Ini
kabarnya.” Spontan Khalid refleks berseru. Mengagetkan burung yang baru saja
mendarat ke tanah.
Ummi menoleh. “itu berarti
sekarang ‘musim penculikan’, toh?” kata Ummi sambil mengambil koran yang
diberikan Khalid.
“halaman yang ini, Mi!” Khalid
membantu Ummi menemukan halaman yang berisi kabar buruk itu.
Ummi membaca halaman yang
ditunjukkan dengan cepat. Sesekali Ummi terdengar menghela nafas sambil menepuk
dahi.
“sudahlah, berarti kalian tidak
boleh keluar rumah jika tidak ada yang mengawasi. Mengerti?” Ummi menyimpulkan
kabar pagi itu.
“tetapi, kan sudah dipenjarakan,
Mi? buat apa pula gak boleh keluar?” tanya Khalid.
“tetapi, penjahat itu bukan
sedikit. Penjahat itu banyak. Bahkan, penjahat kelas kakap ada yang berani
menghancurkan kaca mobil, lalu mengambil barang yang ada didalamnya. Ada juga
yang memanjat pagar rumah, lalu pura-pura menyamar jadi seorang tamu. Karena itu
kita harus berhati-hati.” Kata Ummi menjelaskan.
Khalid dan Khadijah saling
tatap, mendesah kecewa.
“kalau begitu, kita tidak bisa
main bola pagi-pagi di halaman rumah, dong?” Khalid mengangkat suara.
“nggak apa-apa. Kita masih bisa
main dalam rumah, kan?” usul Khadijah.
“iya dong. Masa’ enggak bisa
mencari permainan menyenangkan walaupun didalam rumah?” sahut Ummi.
Khalid yang terpojok segera
menjawab, “bisa kok Mi.”
“ayo, kita lanjut belajarnya,”
kata Ummi.
“ayo Mi!” sahut Khadijah
semangat.
Mereka pun melanjutkan
pelajaran. Tetapi, tiba-tiba..
“aha! Dipenjara ya?” tiba-tiba
Khalid berseru histeris.
Ummi dan Khadijah terperanjat,
lalu melempar tanya, “dipenjara? Siapa?”
Khalid menepuk dahi sambil
menggelengkan kepalanya. “itu lho, si penculik tadi.” Katanya.
“oh, iya. Memang dipenjarakan. Lalu,
kenapa?” Khadijah bertanya sambil sibuk mengerjakan tugas latihan evaluasi
pelajaran mereka barusan.
“Nabi juga ada yang dipenjara.” Balas
Khalid.
Ummi mengernyitkan dahi. “Nabi?
masa’ ada Nabi yang dipenjarakan?”
“ada Mi. Nabi Yusuf ‘alahissalam
itu, kan pernah dipenjara. Dua kali bahkan,” jawab Khalid. “satu kali di sumur,
satu kali ketika di kerajaan Mesir”
Ummi manggut-manggut, mulai
paham. “oh, nabi Yusuf? Oke deh, akan Ummi ceritakan.” Kata Ummi, akhirnya.
Khalid dan Khadijah pun refleks
berseru senang. “ye.. Alhamdulillah..” mereka pun duduk melingkar, bersila
rapi.
“nabi Ya’qub ‘alaihissalam
mempunyai dua belas putra. Namun, yang paling menonjol diantara dua belas putra
itu adalah Yusuf. Yusuf adalah saudara seibu Bunyamin. Ia anak yang shalih,
rajin, dan patuh pada orangtua. Tutur katanya halus dan lembut. Nabi Ya’qub
sangat menyayanginya. Bahkan melebihi kasih sayangnya kepada anak-anaknya yang
lain.” Ummi terdengar mulai bercerita.
“apalagi setelah Yusuf
menceritakan bahwa ia bermimpi melihat matahari, bulan dan bintang-bintang
sujud kepadanya. Nabi Ya’qub pun merasa takjub dan memuji Allah. Ia yakin,
anaknya yang satu ini bukan anak biasa. Tetapi anak istimewa. Karena itu, nabi
Ya’qub pun mencurahkan kasih sayang yang besar pada Yusuf. Sehingga,
saudara-saudara Yusuf pun merasa iri dan dengki. Mereka menyangka, bahwa ayah
mereka (nabi Ya’qub) telah melupakan mereka dan menganggap Yusuf sebagaian
anaknya. Padahal tidak demikian. Yusuf anak yang penurut, wajar saja ayahnya
menyukainya.
Mereka pun bersepakat untuk
menyingkirkan Yusuf dari rumah. Maksudnya, agar ayah mereka lebih perhatian
pada mereka dan melupakan Yusuf. Hingga akhirnya, hari yang disepakati tiba. Mereka
minta izin pada nabi Ya’qub agar membawa Yusuf jalan-jalan ke hutan. Awalnya,
nabi Ya’qub tidak mengizinkan. Namun, anak-anak yang mempunyai siasat itu
memaksa ayah mereka. Akhirnya, nabi Ya’qub pun menuruti permintaan
anak-anaknya.
Tiba di hutan, saudara-saudara
Yusuf melepas baju Yusuf dan melemparnya ke sebuah sumur. Lalu, mereka melumuri
baju Yusuf dengan darah domba. Setelah itu, mereka membawa baju itu dan pulang
ke rumah.
Tiba di rumah, mereka menyerahkan
baju Yusuf kepada nabi Ya’qub sambil menangis. Mereka menceritakan Yusuf yang
mereka buang ke sumur tua. Sedangkan nabi Ya’qub langsung bersedih. Apa yang
dikhawatirkannya benar-benar terjadi. Beliau pun tahu apa sebenarnya yang terjadi.
Kemudian, beliau berdo’a dan memohon keselamatan untuk Yusuf. Sambil menangis,
beliau berkata,
“sesungguhnya dirimu sendirilah yang memandang baik perbuatan (yang
buruk) itu. Maka kesabarn yang baik itulah (kesabaranku). Dan Allah sajalah
yang dimohon pertolongannya terhadap apa yang kamu ceritakan.” QS. Yusuf ayat
18.” Ummi bercerita dalam lima tarikan nafas. Tampak semangat menceritakan
kisah sejarah itu.
“astaghfirullah, saudara-saudara
Yusuf kenapa mau berbohong, begitu ya?” celetuk Khadijah.
“yee.. kan sudah dibilang,
mereka membohongi nabi Ya’qub untuk menyingkirkan nabi Yusuf dari rumah. Menghalau
pandangan nabi Ya’qub dari nabi Yusuf. Agar mereka bisa disayangi dan diberikan
perhatian penuh oleh nabi Ya’qub.” Khalid menanggapi celetukan Khadijah.
“sudah-sudah. Mau dengar lagi,
nggak?” tanya Ummi, melerai debat kusir mereka.
Khadijah dan Khalid serempak
mengangguk.
“beberapa hari berlalu. Sebuah kafilah
dagang pun melewati sumur tua yang didalamnya ada nabi Yusuf ‘alahissalam. Mereka
singgah di sumur tua itu, mengambil air darinya untuk minum. Namun, betapa
terkejutnya mereka tatkala mereka mendapatkan seorang anak tampan rupawan. Mereka
membawa nabi Yusuf ke Mesir dan menjualnya.
Lalu, nabi Yusuf dibeli oleh
raja Mesir, al-Aziz. Maka, nabi Yusuf pun tinggal di lingkungan baru. Hingga akhirnya,
nabi Yusuf dipenjara karena tidak mau tunduk kepada permintaan istri al-Aziz. Penjara
kedua setelah dipenjara di sumur oleh saudara-saudaranya.
Tak lama setelah itu, al-Aziz
bermimpi. Ketika para pentakwil mimpinya tak bisa menakwil mimpinya itu, maka
al-Aziz bertanya kepada nabi Yusuf. Kemudian, nabi Yusuf pun menakwil mimpi
raja Mesir itu. Nabi Yusuf bilang, bahwa akan ada tujuh tahun yang kamu akan
ditimpa paceklik, lalu tujuh tahun kemudian akan datang yang ketika itu manusia
memeras anggur. Karena bisa menakwil mimpi itu, nabi Yusuf pun dikeluarkan dari
penjara dan diangkat menjadi bendahara Mesir.” Ummi bercerita panjang lebar. Sesekali
Ummi terlihat memikirkan lanjutan kisah. Karena Ummi sebenarnya tidak hafal
benar kisah itu. Jadi, Ummi ringkas saja.
“musim paceklik tiba. Setiap orang
yang kesulitan makanan datang termasuk saudara-saudara nabi Yusuf. Nabi Ya’qub
memerintahkan anak-anaknya untuk pergi ke Mesir dan mencari makanan. Maka,
bertemulah mereka (saudara Yusuf) dengan Yusuf yang sekarang menjadi bendahara
Mesir. Kemudian, mereka pun meminta maaf kepada nabi Yusuf. Nabi Yusuf yang
baik hatinya pun memaafkan mereka. Lalu, nabi Yusuf memerintahkan
saudara-saudaranya untuk membawa keluarga mereka ke Mesir.” Kata Ummi.
“mengharukan ya..” kata
Khadijah.
“iya dong. Karenanya, kita harus
menjauhi sifat dusta, iri dan dengki. Karena, itu perbuatan tercela. Bahkan,
dusta saja menjadi salah satu diantara dosa-dosa besar.” Sahut Ummi, menimpali
perkataan Khadijah.
“ringkas sekali ceritanya Mi?”
Khalid menyeletuk.
“memang. Ummi sengaja buat ringkas
karena Ummi tidak hafal benar ceritanya. Jadi, kalau mau lebih detail, baca
saja didalam al-Qur’an, surat Yusuf. Disana lengkap sekali ceritanya.” Balas Ummi.
“oh ya. Apakah kalian tahu
dimana penjara nabi Yusuf?” tanya Ummi.
“enggak Mi!” dua anak itu
menjawab refleks.
“situs yang diyakini sebagai
penjara nabi Yusuf ‘alahissalam tersebut terletak di daerah Desa Bushir, Giza,
Mesir. Tak
banyak yang mengetahui nama desa ini hingga ketenaran Imam al-Bushiri yang
mengarang Qashidah al-Burudah muncul ke publik.” Ummi berkata takzim.
“di desa itulah nabi Yusuf ‘alahissalam
mendekam penjara selama beberapa tahun seperti yang diabadikan dalam surat
Yusuf ayat tiga puluh tiga. Kedalaman penjara ini mencapai sekitar 35 meter. Dan
penjara ini memiliki lorong-lorong yang panjangnya diperkirakan 360 meter.” Kata
Ummi.
“ oh, begitu. Khalid mau baca
dulu, ah!” kata Khalid sambil membuka pintu, berlari terbirit-birit masuk
kedalam rumah, mengambil al-Qur’an.
“aduh, itu nanti dulu. Kita belum
selesai belajar tahu!” seru Ummi.
“hehe..” Khalid hanya
menyeringai sambil menggaruk kepalanya yang tidak gatal.
#cerivitasTantanganMenulis30hari
Komentar
Posting Komentar