AKU HARUS PERGI
AKU HARUS PERGI..
By : Fatya Bakhitah
Sulaiman
Matahari bersinar cerah. Sinarnya
menyulut kobaran api semangat pagi. Semangat yang bergelora di dada, siap
menyambut pagi kelima mereka di Amerika. Siap untuk mengamati, meneliti, dan
lebih lagi berpetualang untuk menemukan hal-hal baru di Negara USA.
Di depan cermin besar
kamarnya, Khadijah berpakaian olahraga. Jilbab juga sudah menambah anggun
penampilannya. Terlihat cantik, pipinya tambah merah merona. Khadijah tersenyum
melirik dua sisi pipinya. Ah, tidak salah sangka Ummi memberinya nama Khadijah
al-Humayra. Ya, Humayra. Seperti panggilan Aisyah binti Abu Bakar Ash-Shiddiq,
Humayra. Sebab pipinya yang merah merona dan kulitnya putih bersih membuat
seluruh orang memanggilnya Humayra. Jadi, Ummi memberinya nama Khadijah
al-Humayra karena pipinya yang merah merona, indah ditatap.
Khadijah mengambil sepatu
olahraganya. Kemudian sepatu itu dijinjingnya, dibawa ke depan pintu rumah.
Khalid terlihat sudah menunggu di halaman apartemen. Topi kep biru muda dan
sepatu olahraga biru muda berseling putih membuatnya terlihat gagah.
Khadijah memasang sepatu,
mengencangkan tali sepatu, lalu bergegas pamit pada Ummi yang sedang duduk di
sofa bersama Abi.
“Abi, Ummi, kami olahraga
sambil main di playground apartemen
ya, Mi, Bi.” Pamit Khadijah.
“Iya, nggak apa-apa. Mainnya
dipuaskan, karena Abi disuruh pergi ke negeri lain, lagi! Abi nggak tahu kita
akan dikirim kemana..” ujar Abi, menatap gadisnya yang berdiri didepan pintu.
Khadijah menatap wajah
Abi lekat-lekat, “Baik Bi.” Jawabnya singkat,kemudian melanjutkan. “kami pergi
Bi, Mi. Assalamu’alaikum..”
“Waalaikumussalam..” Abi
dan Ummi menjawab salam serempak. Mereka melanjutkan obrolan hangat dengan secangkir
teh dan roti manis buatan Ummi.
Khadijah bergegas menuruni
40 anak tangga, menyusul Khalid yang sekarang melemaskan badan di halaman
apartemen. Begitu tiba di halaman apartemen, serta merta Khadijah berlari
mendekati Khalid, mengajaknya ke playground
apartemen.
“Ayo Khalid, kita ke playground apartemen.” Ajak Khadijah,
menggenggam tangan Khalid.
“Oh, baiklah. Les’t go!”
Khalid berlari terbirit-birit menuju playground
apartemen. Sambil menggamit tangan kembarannya, ia berlari menuju kesana.
Tibalah mereka di playground apartemen. Mereka menggeledah
semua sudut playground. Di beberapa
tempat ada pohon-pohon yang tumbuh subur dengan dahan besar yang perkasa. Tanah
playground apartemen ditumbuhi rerumputan hijau muda yang indah dipandang mata.
Bunga-bunga bermekaran menawan, kupu-kupu terbang berkejaran. Pemandangan yang indah
memanjakan mata. Khadijah menatap suasana dengan mulut separuh terbuka,
ternganga. Sedangkan Khalid mengedarkan pandangannya ke seluruh arah.
“Hai!” sapa seorang anak
lelaki, melambaikan tangannya kepada Khadijah dan Khalid sambil tersenyum penuh
keakraban. Ia terlihat datang dari sebuah pohon yang memiliki dahan besar yang
perkasa itu.
“Hai,” Khalid membalas
sapaan itu. Ia mendekati anak lelaki itu sambil mengulurkan tangan.
“nama kamu siapa?” anak
lelaki itu menanyakan nama Khalid dalam bahasa Inggris.
“aku Khalid as-Saifullah.
Umurku sepuluh tahun.” Khalid menjawab pertanyaan itu.
“kalau kamu siapa?” tanya
Khalid, berbalik menanyakan nama pada anak lelaki itu.
“aku Mark, kembaranku Matrioska.
Kami berumur sepuluh tahun. Abangku bernama William, umurnya dua belas tahun.”
Jawab anak lelaki bernama Mark (baca: Merk) itu.
“Ah iya.” Khalid mengusap
wajahnya yang dipenuhi peluh, lalu menoleh
kepada Khadijah yang berdiri di belakang kirinya. “ini kembaranku, Khadijah
al-Humayra. Kami berdua berumur sepuluh tahun. Senang bertemu denganmu Mark.”
Kata Khalid mengulum senyum khasnya.
Mark menoleh pada Khadijah,
lalu menatap wajah Khalid. “Kalian mau main bersama kami? Kebetulan, aku dan
Matrioska sedang bermain di rumah pohon. Kalian mau ikut?” Mark menawarkan. Khalid
dan Khadijah kini saling pandang.
Khalid menganggukkan
kepala.
Mark membawa Khalid dan Khadijah
menuju pohon berdahan besar yang kokoh. Diatas dahan besar itu ada rumah kecil
terbuat dari kayu. Dari kejauhan tampak lebar dan besar. Didepan rumah pohon
itu ada teras yang cukup luas. Dari bawah pohon ada tangga kayu yang menghubungkan
tanah dengan rumah pohon.
Mark menaiki tangga kayu
yang memiliki sepuluh anak tangga itu. Setelah tubuhnya terduduk diatas teras
kayu itu, Khadijah menyusul. Setelah Khadijah tiba di teras, barulah Khalid
menyusul.
“Alhamdulillah, kita
sudah di rumah pohon..” ujar Khalid sembari menengadahkan kepala, menatap
rimbunnya daun pohon yang menaungi rumah pohon itu. Ada tiga hingga lima ekor
burung-burung kecil yang bertengger. Berkicau bersahut-sahutan seakan mereka
sedang menyanyi ria bersama.
Mark masuk kedalam rumah
melalui pintu rumah yang sedikit terbuka. Ia membukanya pelan, lalu bergegas mendekati
Matrioska yang cekatan memainkan boneka beruang dan peralatan mainan
masak-masakannya.
“Matrioska, aku punya
teman baru, loh!” Mark mendekati Matrioska yang menimang-nimang boneka
beruangnya.
“Siapa?” Matrioska
menatap Mark.
“Ini mereka,” ujar Mark
pada Matrioska sambil merangkul pundak Khalid yang baru saja masuk kedalam
rumah. “Yang ini bernama Khalid as-Saifullah, dan yang ini Khadijah al-Humayra.
Umur mereka sebaya kita. Dan..” belum lagi Mark menyelesaikan kalimatnya..
“Khadijah al-Humayra?!” Matrioska
berseru ketus, boneka beruang jatuh dari tangannya. “Ka-kamu adalah orang yang
berada di mimpiku?!” serunya tidak percaya.
Khadijah dan Khalid
saling tatap, tidak mengerti.
“Memangnya nama kamu
siapa?” tanya Khadijah pada Matrioska.
“A-aku Matrioska Cyntia Forsyt!”
balas Matrioska sambil beranjak berdiri. “Astaga, eps! Subhanallah.. orang di
mimpi ternyata bisa berwujud!” serunya sambil menghambur kepada Khadijah.
“Kamu Matrioska Cyntia
Forsyt? Anak gadis yang memiliki balon udara Zeppelin, yang Mr. Pilot-nya
merupakan Pilot Danya?!” Khadijah ikut berseru tidak percaya. Apakah ini semua
benar-benar sungguhan?
“Iya! Kamu mimpi juga?” sahut
Matrioska. “mimpiku itu aku bertemu dengan Khadijah al-Humayra yang tersesat di
hutan yang dihujani salju. Terus, aku menawarkan Khadijah al-Humayra itu untuk
naik balon udara Zeppelinku, yang dinamai Matrioska Jet untuk pergi ke kota
Cappadocia di Turki. apakah di mimpimu seperti itu?” Matrioska meringkas
mimpinya.
“Ya! Kau benar sekali,”
sahut Khadijah sambil merangkul Matrioska. “mimpiku juga seperti itu!”
lanjutnya dengan mata berbinar. Pipi merahnya terasa semakin merah merona.
Matrioska tertawa senang
sambil menepuk pundak Khadijah. Sedangkan Mark dan Khalid sedari tadi menatap
kosong, bengong menatap dengan mulut ternganga.
“Ayo, kita main didalam!
Aku punya alat masak-masakan dan boneka beruang bernama Yuna. Kamu nanti yang masak
dan aku yang nyuapin Yuna!” seru Matrioska riang. Hatinya berdebar kencang
menerima pernyataan itu.
“baiklah Matrioska.. anak
cantik..” sindir Khadijah sembari mencubit pelan dua sisi pipi temannya.
Matrioska tertawa semakin
lebar. Dia kemudian menyeret tangan Khadijah untuk menuju sudut dapur (itu
sebutan Matrioska saja). Disana ada sutil, kuali mainan juga panci mainan. Didekat
sana juga ada kendi air mainan, rak piring mainan, juga ada teko air. Ada juga
bola-bola kecil sebagai menu masakan (kocak ya?).
“Nah, kamu ambil
bola-bola itu dan masukkan kedalam panci. Lalu, ambil teko air itu dan tuang
kedalam panci. Lalu, letakkan panci ke atas tungku kompor, yah? Kemudian
nyalakan api kompor dan dimasak. Nanti bolanya salin ke piring, biar aku yang
suapkan Yuna dan menghidangkannya kepada Mark dan Khalid.” Jelas Matrioska
mengenai aturan main masak-masakannya. Udah umur sepuluh tahun, tapi seperti
anak kecil?
Mark dan Khalid duduk di ruang
tengah. Ruangan itu diapit oleh sudut dapur, sudut belajar kelompok yang disana
mereka mengerjakan tugas kelompok bersama teman sekolah mereka (mereka kan
sekolah formal), juga sudut ‘ta’lim’. Kata Mark, mereka Islam dan sesekali
keluarga mereka mengadakan ceramah untuk anggota keluarga. Mereka akan
mendengar ceramah yang diceramahi Papa mereka di sudut ta’lim tersebut.
Mark dan Khalid bercerita
di ruang tengah itu. Berbeda dengan Khadijah dan Matrioska yang telaten mengurusi
sudut dapur. Seakan mereka adalah seorang ibu yang melakukan tugas domestik
perempuan. Terkadang terdengar penjelasan Matrioska, dan juga sesekali
terdengar siulan Khadijah yang sedang memasak.
Setengah jam, drama rumah
tangga itu berlalu..
Setelah puas bermain,
empat anak itu duduk di teras. Menjulurkan kaki, berpegangan dengan pagar kayu.
“Seru kan, Khadijah?”
ujar Matrioska pada Khadijah.
“Iya. Kamu memang pintar
memasak. Cita-citamu mau jadi apa?” sahut Khadijah.
“Aku mau jadi dokter.
Tetapi, aku mau pintar memasak untuk keluargaku besok kelak.” Balas Matrioska
sembari menimang-nimang Yuna. “kalau kamu mau jadi apa?”
“Aku mau jadi hafidzah
dan penulis. Aku punya 5 buku bagus loh..” kata Khadijah.
“Masya Allah.. kamu
hebat.” Puji Matrioska.
Khadijah kemudian
mengeluarkan smarthphone dari saku celana olahraganya. Dia membuka ‘camera’,
lalu ia asyik memotret pemandangan playground, memotret dirinya sendiri dengan
Matrioska, juga sesekali ia memotret Khalid dan Mark yang asik bercerita di
teras.
“Besok kita ke main lagi
ya?” usul Matrioska pada Khadijah.
Khadijah menatap
Matrioska.
“Tidak bisa Matrioska..”
kata Khadijah.
“kenapa?” tanya
Matrioska. “sepulang sekolah kita main lagi. Aku mau belajar, bercerita dan
lainnya denganmu.” Lanjut Matrioska pelan.
“Aku harus pergi,
Matrioska..” Khadijah menjawab pelan, menggoyangkan kakinya yang terjulur.
“kemana?” Matrioska
dengan cepat melempar tanya.
“Aku nggak tahu.
Pokoknya, aku harus pergi.” Kata
Khadijah sambil mengelus kepala Yuna.
“lha, kalau nggak tahu
kenapa kamu harus pergi?” sindir Matrioska.
“Abiku bilang, besok kita
harus pergi. Abi tidak tahu kita akan dikirim kemana. Jadi, kumohon kamu jangan
merengek ya.. please..” Khadijah mengangkat pandangannya kepada Matrioska.
Matrioska menghela napas
panjang. Ia melepaskan pandangannya ke area alam playground yang luas
membentang, kemudian menatap langit yang disinari cahaya matahari yang amat
menyilaukan.
“kalian kenapa bercerita tampaknya
amat sedih?” celetuk Mark, menyentuh bahu Matrioska.
“Bukan Mark. Hari ini
adalah hari perpisahan. Ki-kita tak akan bertemu lagi!!” Matrioska mengundang
perasaan iba. Awan air mata mulai menurunkan hujannya di mata Matrioska.
Khalid mendekati
Khadijah. “Tak apa. Kita masih bisa via internet lewat email. Tidak perlu
bersedih seperti itu. Kecuali kami mati, baru seperti itu.” Pungkas Khalid pada
Matrioska yang sekarang menimang-nimang Yuna dengan mata berkaca-kaca.
Matrioska menoleh,
berusaha mengulum senyum. “Iya. Aku tahu itu.” Katanya lagi.
Mereka menghabiskan waktu
dengan mengobrol sebelum datang jam sembilan, saat Khadijah dan Khalid harus
berpetualang ke roket RobotBear.
Selamat tinggal…
Assalamu’alaikum!
#cerivitasTantanganMenulis30hari
Komentar
Posting Komentar