Desa yang ditinggalkan
Desa yang
ditinggalkan…
By:
Fatya Bakhitah Sulaiman
“Allahu Akbar! Allahu Akbar!”
Smarthphone Khadijah bergetar.
Alarm yang berdenging bunyi adzan irama Imam Muhammad Thaha Al-Junayd mengentak di gendang telinga. Menjatuhkan
Khadijah di alam sadar.
Khadijah mengucek mata. Ia
mematikan bunyi alarm smarthphone-nya yang terus berdenging. Kemudian, dengan
langkah yang masih mengantuk, ia membuka pintu kamar mandi. Menyikat gigi, lalu
disusul wudhu.
Khadijah melirik ke ventilasi
kamar mandi yang berada 7 meter diatas wastafel. Gelap, bisiknya lirih. Oiya,
waktu Shubuh bisa datang di waktu yang berbeda. Karena, waktu Shubuh di Negara Inggris
ini tergantung musim. Jika musim dingin, waktu Shubuh akan lama datang. Berbeda
dengan musim panas yang siangnya lebih panjang daripada malam. Jadi, Shubuh di
musim panas lebih cepat datang.
Selesai berwudhu, Khadijah
mengambil lipatan mukena dari ransel biru miliknya. Ia pun mengenakan mukena.
Kemudian, ia menggelar sajadah ke arah kiblat yang sudah ditunjuk Abi kemarin
sore. Sekejap kemudian, ia hanyut dalam sholat Shubuh.
Selepas sholat Shubuh, ia
mengaji sebentar. Kemudian, ia berniat mandi. Ia mengambil plastik kecil berisi
perlengkapan mandi dari ransel. Kemudian, ia menjinjing plastik itu dan
membawanya ke kamar mandi.
20 menit berlalu..
Khadijah kini sudah keluar dari
kamar mandi. Ia mengambil lipatan gamis dan kerudung dari travel bag. Setelah
itu, ia berpakaian.
“Khalid sedang ngapain ya?” batinnya. Ia
melirik ke arah pintu, mulai menimbang-nimbang. Apakah ia akan keluar dari
kamar ini dan masuk ke kamar Khalid?
Selagi pikirannya melayang
berpikir, pintu kamarnya diketuk.
Khadijah membuka pintu, melihat siapa yang mengetuk. Tetapi, ternyata itu Abi.
“lho? Kamu sudah siap, Sayang?”
tanya Abi, tercengang. Melihat putrinya yang sudah rapi, cantik jelita.
Khadijah mengangguk. “iya Bi.
Karena siapa tahu nanti kita akan berangkat ke China pada pukul delapan. Jadi
Khadijah buru-buru mandi.” Kata Khadijah sambil tersenyum.
“memang, kita akan berangkat
pukul delapan kok.” Balas Abi.
“ya sudah. Abi mau ke kamar
Khalid dulu ya. Abi mau melihat dia, apakah dia sudah siap?” kata Abi sambil
menutup pintu kamar Khadijah.
Khadijah kembali ke ranjangnya
setelah Abi menutup pintu kamar. Ia kembali mengaji. Lumayan, masih ada waktu
lebih baik diisi dengan kegiatan yang bagus, bukan?
Abi ke kamar Khalid. Berputar
sembilan puluh derajat dari kamar Khadijah. Hanya lima langkah, Abi pun tiba di
depan pintu kamar Khalid. Mengetuk pintu dengan pelan.
“tok..tok..tok..”
“Assalamu’alaikum Khalid..” Abi
menguluk salam.
“waalaikumussalam, Bi.” balas
Khalid sambil membuka pintu. Ia sudah rapi juga.
“kamu sudah mandi juga?” tanya
Abi.
“sudah Bi. Kenapa Bi?” Khalid
balik bertanya.
“begini, kita akan berangkat ke
China pukul delapan. Jadi, kamu harus cepat bersiap. Mengerti?!” ujar Abi.
“oh, begitu. Oke Bi, InsyaAllah
Khalid akan cepat bersiapnya.” Kata Khalid yakin.
Abi kembali ke kamarnya
(maksudnya ke kamar Abi toh). Ikut bersiap-siap. Bersiap untuk kembali ke
Negara Republik Rakyat China, tempat dinasnya tahun ini.
Khadijah juga bersiap. Travel
bag disiapkan di dekat pintu kamar. Ransel sudah menempel di pundak. Jam
smarthwatch pink sudah mengelilingi pergelangan tangan kanannya. Ia duduk di
diatas ranjang, menanti.
Tiba-tiba, Khalid membuka pintu
kamarnya. “assalamu’alaikum..”
“waalaikumussalam, Khalid.”
Khadijah menjawab singkat.
“ayo, kita ke kamar Ummi dan
Abi.” Ajak Khalid sambil menarik tangan Khadijah.
“he-eh. Oke-oke, aku mau
menyeret travel bag-ku dulu.” Kata Khadijah sambil tertawa kecil.
Mereka berdua keluar dari kamar
Khadijah. Mereka berjalan ke kamar Abi dan Ummi.
“assalamu’alaikum Abi! Ummi!”
sapa Khadijah dan Khalid sembari membuka pintu kamar Ummi dan Abi.
Ummi menoleh, “waalaikumussalam
Sayang.. ayo, kita masuk ke gedung bandara.” Ajak Ummi sambil menyeret travel
bag-nya.
“kita enggak ke kafetaria hotel,
Mi? disini kan, ada juga.” Kata Khalid.
“tidak Sayang. Kita akan langsung ke ruang
tunggu. Karena, kita akan berangkat cepat.” Balas Ummi.
“ayo, kita ke ruang tunggu! Kita tidak ke
kafetaria, karena kita harus berangkat di pukul delapan. Abi khawatir kalau
kita ke kafetaria, karena bisa-bisa nanti terlambat. Akhirnya ditinggal sama
pesawat.” Kata Abi sambil berjalan menuju resepsionis hotel. Menyerahkan tiga
kunci kamar. Kemudian, Abi mengajak Ummi, Khalid dan Khadijah masuk ke gedung
bandara yang tepat di depan gedung hotel.
Kemudian, Abi membawa mereka ke
ruang tunggu. Khadijah dan Khalid duduk berdampingan di bangku ruang tunggu.
Disamping Ummi dan Abi.
“kita main matematika ya!” ajak
Khadijah.
“ayo!” sahut Khalid setuju.
“nah, sembilan ditambah dua lalu
dikali tiga, berapa?” tanya Khadijah.
“sembilan ditambah dua, sebelas.
Sebelas, dikali tiga. Tiga puluh tiga!” Khalid mencoba menjawab.
“betul!” sahut Khadijah.
Mereka terus bermain. Sedangkan
Abi dan Ummi hanya melihat mereka sambil tersenyum.
***
Pukul delapan pagi. Dari speaker
suara, terdengar suara wanita yang berbicara.
“penumpang pesawat XC-528 dengan
tujuan China diharapkan segera masuk ke pesawat” suara wanita itu terdengar
dari speaker.
Abi dan keluarganya segera
mengantri. Menunjukkan tiket, lalu masuk ke dalam pesawat. Kemudian, duduk di
kursi penumpang.
Abi mengumpulkan ransel
keluarganya. Lalu, dimasukkan kedalam kabin tas. Sejurus kemudian, Abi membawa
keluarganya untuk duduk di kursi sesuai nomor tiket penumpang.
Mereka semua duduk dalam satu
deretan kursi. Khadijah ditepi jendela, lalu kursi Khalid, kemudian kursi Ummi,
baru setelah itu kursi Abi. Mereka semua juga memasang safety belt ke pinggang.
Tak lama setelah para penumpang
dudu di kursi, salah satu pramugari tampil untuk menunjukkan cara menyelamatkan
diri ketika keadaan sedang darurat. Pramugari itu menjelaskan dengan panjang
lebar, hingga kemudian pramugari itu kembali ke tempat teman-temannya berada.
Sejurus kemudian, pesawat mulai
berjalan. Pelan, lalu makin lama makin kencang. Hingga pesawat pun terbang
meninggalkan Negeri Elizabeth.
***
Perjalanan panjang tidak membuat
Khadijah mengantuk, tetapi malah membuatnya bersemangat. Ia asyik menatap
pemandangan dibawah pesawat. Daratan yang menghampar, gunung yang tinggi
menjulang, laut yang luas membiru, rumah-rumah yang berjejer rapi bagai
puing-puing kecil (kalau dilihat dari udara memang seperti puing-puing), dan
lain-lain.
Khalid ikut melihat pemandangan
itu. Sesekali ia berdecak kagum melihat kekuasaan Allah yang ia lihat dengan
mata kepalanya sendiri.
“masya Allah! Lihat itu Khalid,
pulaunya hanya berisi tumbuhan yang subur. Rumah-rumah tidak ada disana.” Ujar Khadijah
pada Khalid. Menunjukkan pulau yang isinya hanya terdiri pepohonan yang
warnanya hijau muda.
“eng.. enggak Khadijah! ini
merupakan desa nelayan China. Pulau ini bernama pulau Gouqi. Desa pada pulau
ini awalnya merupakan desa para nelayan China. Namun, kini benar-benar
diabaikan dan kosong tak berpenghuni selama kurang lima puluh tahun lamanya.
Sekarang, desa tersebut hanya menyisakan pohon-pohon yang hidup subur.
Lumut-lumut sudah mengambil alih desa itu. Yaaa.. maksud ambil alihnya itu,
adalah awalnya manusia yang tinggal disana, namun sekarang malah lumut dan
tumbuhan liar yang menempati rumah di desa itu.” Jelas Khalid sambil memegang
jendela kaca pesawat.
“hah..?! itu dulunya merupakan
desa nelayan?!” seru Khadijah tidak percaya.
“iya Khadijah. Pulau Gouqi merupakan salah
satu pulau diantara 300an pulau yang tergabung di kepulauan Shangsi, China.
Namun, di pulau ini, ada desa yang ditinggalkan.” Ujar Khalid.
“oiya, ngomong-ngomong cerita
desa nelayan, aku jadi punya cerita nih.” Kata Khalid.
“cerita apa?” tanya Khadijah,
tertarik.
“cerita Ashabus Sabt.” Balas
Khalid santai.
“ceritakan! Ceritakan!” Khadijah
menyeringai senang.
“oke deh, aku ceritakan.” Sahut
Khalid sambil memperbaiki letak duduk-nya.
“dikisahkan bahwa sekelompok
warga Yahudi tinggal di sebuah desa di dekat Teluk Aqabah. Desa tersebut
bernama Aylah. Penduduk desa Aylah biasa mencari dan menangkap ikan di pantai dekat
Laut Merah tersebut. Hingga suatu hari, Allah pun menurunkan larangan bagi
penduduk desa untuk menangkap ikan di hari Sabtu.” Jelas Khalid.
Khadijah serius mendengarkan.
Tidak berkata sepatah pun.
“para Yahudi yang merupakan
penduduk desa itu pun mematuhi perintah Allah. Namun, tidak berapa lama setelah
itu, Allah pun menguji ketakwaan dan iman mereka. Allah memerintahkan ikan-ikan
agar berkumpul pada hari Sabtu dan menghilang selain hari Sabtu. Alhasil, beragam
jenis ikan-ikan lezat yang menggiurkan berdatangan ke tepi pantai. Namun, pada
hari Ahad hingga Jum’at, ikan-ikan menjauh dari tepi laut. Untuk mendapatkan
seekor saja, butuh usaha keras dan susah payah.” Lanjut Khalid.
“menghadapi godaan itu, beberapa
warga desa menahan diri dan memilih menjalankan perintah Allah. Sementara,
sebagian besar lain tegoda dan berpikir bagaimana cara mendapatkan ikan di hari
terlarang itu. Ada pula beberapa warga hanya berdiam diri, tidak melakukan apa
pun.”
“para Yahudi yang tergoda dan
berpikir bagaimana menyiasati perintah Allah, mereka berencana untuk membuat
kolam di tepi laut. Agar pada hari Sabtu ikan-ikan itu terperangkap di dalam
kolam.” Khalid terus bercerita.
“Sepakat, mereka yang menyiasati
perintah Allah berbondong-bondong datang ke tepi laut pada Jum’at sore. Mereka
menggali kolam perangkap ikan. Agar pada hari Sabtu, air laut akan menggenangi
kolam dengan sendirinya. Jadi, ikan-ikan terperangkap di kolam itu, sedangkan
mereka terus beribadah. Tidak mengail ikan ke laut.” Khalid bercerita dengan
gaya full.
“melihat tingkah licik para
pembangkang, beberapa warga desa yang terdiri dari ulama Yahudi dan orang-orang
shalih pun marah dan geram. Mereka menasihati para pembangkang agar kembali
bertaubat kepada Allah. Namun, tidak disangka, mereka malah ditentang oleh para
pembangkang. Sehingga, orang-orang shalih dan ulama Yahudi pun pergi dari desa
itu, karena nasihat mereka tidak didengar apalagi menjadi kesadaran. Jadi,
mereka yang shalih pergi saja dari desa itu.”
“pagi harinya, orang-orang
shalih dan ulama Yahudi merasa janggal akan desa mereka yang sunyi. Sejak pagi,
tidak ada salah seorang warga yang keluar rumah. Sepi, sunyi. Tidak ada keramaian
ataupun aktivitas warga pada pagi hari. Sehingga, mereka pun mengutus seorang
pria ke desa Aylah itu.”
“ memasuki desa, pria utusan itu
tercengang dengan kondisi desa yang sunyi senyap layaknya wilayah yang tak
berpenghuni. Tiba di desa Aylah, pria utusan itu mengetuk pintu seorang warga,
tetapi tidak ada jawaban. Maka, pria itu mengintip dari jendela rumah dan
melihat penghuninya. Penghuninya bukan manusia, melainkan kera. Tidak percaya
apa yang dilihat, pria utusan itu pergi ke rumah yang lain. Namun hasilnya sama
saja. Desa pesisir itu menjelma menjadi desa kera.” Khalid menghela nafas.
“idih, mereka diubah jadi kera?”
tanya Khadijah.
Khalid mengangguk. “karena itu,
patuhilah Allah. Jangan pernah kamu membuat siasat untuk menyelishi Allah.
Ingat, patuhi Allah, jauhi larangannya, rajin beribadah padanya. Jangan sampai
kamu seperti Ashabus Sabt itu.” Kata Khalid mengingatkan.
“oke deh! Oiya, cerita itu
diabadikan dalam al-Qur’an, kan? Bacakan dong!” pinta Khadijah.
“cerita itu diabadikan dalam
surat al-Baqarah ayat enam puluh lima. Artinya: dan sungguh, kamu telah mengetahui orang-orang yang melakukan
pelanggaran pada hari Sabat, lalu kami katakan pada mereka, ‘jadilah kamu kera
yang hina’. Oh ya. Hari Sabat itu merupakan hari Sabtu, Khadijah. Tapi,
bahasa Arabnya hari Sabat.” Kata Khalid.
“oke deh!” seru Khadijah senang.
“dapat pelajaran lagi hari ini!”
“bagus dong. Itu mah, memang
harus kita lakukan bukan?” celetuk Abi.
Khadijah dan Khalid mengangguk.
“para penumpang diharap
menegakkan kursinya kembali dan segera memakai safety belt karena pesawat
hendak mendarat” speaker suara di pesawat terdengar bersuara.
“Alhamdulillah..” Abi, Ummi,
Khalid dan Khadijah mengucap hamdalah.
#cerivitasTantanganMenulis30hari
Komentar
Posting Komentar