KOTA CAPPADOCIA, KOTA BALON UDARA



KOTA CAPPADOCIA, KOTA BALON UDARA
BY: Fatya Bakhitah Sulaiman

 

Malam menyelimuti kota. Lampu-lampu jalan di pinggir trotoar tampak menyala, menerangi jalan. Bulan bersinar indah dilangit.

Seusainya makan malam di kamar, Khadijah, Ramlah dan Shafiyyah segera tidur. Malam ini mereka tidur sama-sama lagi. Kalau Khalid, bareng Walid, Salamah dan Hudzaifah. Walau sempit-sempitan dan banyak bertengkarnya, mereka tetap kompak tidur bersama.

Di awal malam, Khadijah melihat sesuatu. Ya, mimpi. Konkret mimpi yang baik. Ayo kita baca ceritanya guys..

***

Khadijah berbaring merentangkan tangan diatas salju. Hujan salju seperti senapan mesin, menembaki tanah dengan butiran-butiran salju yang bertubi-tubi menghujam bumi. Suasana sepi, yang tersisa hanyalah bunyi gerak pasif pepohonan pinus.

Khadijah beringsut duduk. Dua tangannya menahan tubuhnya. Kepalanya berputar, matanya beredar mencari sesuatu. Nihil! Yang ada hanyalah pepohonan pinus dan salju. Tidak ada satu manusia disini.

“astaghfirullah.. kenapa sepi? Bukankah kemarin aku bersama Khalid, Ummi, Abi, tante al-Khansa’ dan om Urwah? Bukankah aku kemarin juga bersama Khalid, Walid, Salamah, dan Hudzaifah? Bukankah kemarin aku juga bersama Ramlah dan Shafiyyah? Kemarin aku juga di Pekanbaru?” batin Khadijah.

Khadijah dalam suasana hati yang buruk. Bagaimana mungkin bisa damai? Disini tidak ada siapa-siapa, beruntungnya beruang kutub dan serigala salju tidak ada berkeliaran. Sepi, sunyi, senyap! Tidak ada sesuatu disana.

Khadijah memaksa tubuhnya untuk berdiri. Sekejap, tubuh tinggi kekarnya sudah menjulang ke atas. Ia menengadah, kemudian menolehkan kepala ke kiri, ke kanan, kemudian kebawah.

Ia berniat untuk berjalan. Siapa tahu disetiap jengkal arena tumpukan salju ada orang. Ia pun tersenyum getir, mencoba melangkahkan kaki. Sepatu bootnya berjalan setapak demi setapak, membuat jejak di tumpukan salju.

60 meter terlewati, namun tidak ada makhluk siapa pun. Khadijah mengernyit, kalau begini akan lama sekali bisa keluar dari hutan salju itu. Cemas, panik menggelayuti hatinya. Ia pun jatuh berlutut, kemudian mengangkat tangan. Menengadah, berdo’a sepenuhnya kepada-Mu. Matanya berkaca-kaca, tetesan air mata jatuh ke tumpukan salju.

Lama berdo’a, Khadijah memantapkan hatinya untuk terus berjalan. Menyusuri setapak demi setapak tumpukan salju yang putih dan hening. Ia menatap lurus kedepan, mengukir senyum yang dipaksakan, kemudian melangkah.

15 kilometer sudah terlewati, tetapi hati Khadijah tidak berniat untuk berhenti. Suasana sepi mencekam hati, tubuh harus dipaksa bergerak tanpa kompromi. Untuk menghilangkan kecemasan, butuh pendekatan padaMu dan juga mencoba menghilangkannya dengan berbagai cara.

Saat kilometer enam belas sudah lewat, saat itulah seorang gadis tampak berjalan menatap pepohonan. Ia tidak menggunakan kerudung maupun jilbab. Tampang khas orang dari Inggris menjelma di tubuhnya. Rambut yang pirang, kulit yang putih cerah (tapi Khadijah juga seperti itu). Khadijah menatapnya lamat-lamat, mencoba menyapa.

Gadis itu mengarahkan pandangannya kepada Khadijah. Ia tersenyum simpul, wajahnya tampak rona kebahagiaan. Ia merentangkan tangan, kemudian berlari memeluk Khadijah.

“Si-siapa kamu?” Khadijah tampak salah tingkah—walau ia tetap membalas pelukan gadis itu.

Gadis itu tersenyum simpul, menyeka ujung mata sambil menjawab, “Aku Matrioska Cyntia Forsyt. Tiga kalimat itu bisa menjadi panggilanku.” Ujar gadis itu sambil menyeringai lebar. “agamaku Islam. Umurku sepuluh tahun.”

“Maksudmu aku bisa panggil kamu Forsyt, bisa panggil Cyntia, bahkan bisa  panggil dengan Matrioska?” balas Khadijah, masih mengernyit. Masya Allah, gadis ini Islam, kenapa dia tidak  mengenakan jilbab?

Matrioska mengangguk, tersenyum. “kalau kamu, namanya siapa?”

“aku Khadijah al-Humayra, biasa dipanggil Khadijah. Umurku sepuluh tahun, lebih muda diantara teman-teman blog-ku. Kami semua juga beragama Islam. Oiya, Aku anak kembar, dan kembaranku adalah Khalid as-Saifullah. Tetapi, aku tidak tahu dia berada dimana. Keluargaku, sepupu-sepupuku, om dan tanteku, aku juga tidak tahu mereka sedang dimana.” Ujar Khadijah jujur pada Matrioska. Mulutnya tersumpal, urung untuk bertanya kenapa Matrioska tidak pakai jilbab.

Matrioska menghela napas panjang. “baiklah, coba kita cari bersama. Barangkali kita bisa menemukan mereka, Insyaallah..”

Mereka berdua akhirnya berjalan pelan. Sambil melihat semua tempat, mencari keluarga Khadijah.

“Matrioska, kamu kehilangan keluarga juga?” tanya Khadijah.

Matrioska mengangguk pelan, menggesek-gesek tumpukan salju dengan sepatu boot yang dikenakannya. Khadijah menghela nafas dalam-dalam. Kalau begini amat sulit untuk mencari semuanya. Ya Allah, bantu kami berdua. Curahkan semua rahmatMu untuk kami. Bantu kami ya Allah.. Khadijah berdoa di batin.

“hmm.. coba kita naik balon udara milikku, kemudian kita menuju kota Cappadocia, Turki. Barangkali mereka semua berada disana.” Ujar Matrioska menyarankan. Khadijah menatap wajah Matrioska lekat-lekat, menatap dengan tatapan tidak percaya.

“subhanallah... masa’ kamu bisa mengendalikan balon udara menuju tempat tujuan kita? Balon udara tidak punya kemudi untuk menjauhkannya dari jalur pesawat terbang. Bisa-bisa celaka, lebih baik kita tunggu saja mereka.” Balas Khadijah pada Matrioska.

Matrioska menatap wajah Khadijah lamat-lamat, “Khadijah, jangan asal ngomong dulu. Balon udara milikku bukanlah balon udara yang bentuknya balon dan raksasa. Kemudian, dibawah balon ada keranjang untuk menampung orang-orang yang berminat untuk naik. Bukan. Balon udara milikku adalah balon udara Zeppelin, balon udara yang bentuknya seperti cerutu raksasa. Balon ini mempunyai mesin dan kemudi didalamnya. Inilah balon udara milikku.” Matrioska menjelaskan.

Khadijah menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Pikirannya berperang, apakah begitu? Haha.. sepertinya dia tidak tahu bahwa balon udara ada jenis juga.

“Oooh.. begitu.” Khadijah menggaruk ujung hidung sambil nyengir pada Matrioska. “Baiklah, ayo kita berangkat sekarang.” Katanya.

Matrioska menggandeng tangan Khadijah menyusuri jalanan salju. Mencari jalan keluar dari sana.

50 kilometer berjalan pelan, akhirnya cahaya matahari tampak disela-sela dahan pepohonan. Matrioska dan Khadijah berseru riang, mengucap hamdalah. Mereka bersyukur sekali, masih bisa diberikan jalan keluar oleh Allah.

“Matrioska, mana balon udaramu?” tanya Khadijah, wajahnya menyimpul senyum lebar.

“sebentar, aku harus menelepon Mr. Pilot balon udara Zeppelin. Namanya Pilot Danya. Ia orang Indonesia dan beragama Islam.” Matrioska cekatan membuka saku sweater-nya, mengambil smarthphone satelit, lalu mencari nomor smarthphone Mr. Pilot Danya.

Dan Khadijah hanya menanggapi dengan ber-“ooh”.

“tut…tut..”

Lima belas detik berselang, kontak yang dilakukan Matrioska kepada smarthphone satelit Mr. Pilot Danya berhasil.

“assalamu’alaikum om Danya..” sapa Matrioska di awal-awal menelepon.

“waalaikumussalam Matrioska. Ada apa?” dan Pilot Danya hanya membalas pendek.

“jemput Matrioska di hutan salju, om Danya. Matrioska tidak tahu tempat ini namanya apa. Pokoknya pepohonan pinus banyak tinggi menjulang. Salju menumpuk, tanah tak tampak walaupun sepicing mata.” Ujar Matrioska menjelaskan pada Pilot Danya. “terus, antarkan Matrioska ke kota Cappadocia, Turki.”

Pilot Danya yang berada didalam balon udara Zeppelin yang dikasih nama Matrioska Jet, hanya mengangguk-angguk, memahami. Ia pun menanggapi, bahwa ia akan jemput kesana secepat kilat. Dengan kecepatan penuh, Insya Allah… kata pilot Danya.

Matrioska menutup kontak itu dengan mengucap salam, lalu call ended dan menyimpannya di saku sweaternya. Khadijah hanya menatap gerak-gerik sahabat barunya. Dia pikir, gadis ini seperti Amaroh, Omar, Ikrimah dan Asad. Punya pesawat sendiri—walaupun pesawat Matrioska adalah balon udara Zeppelin.

Hanya menunggu 30 menit, balon udara Zeppelin sudah mendarat di tanah. Tak butuh waktu lama, Matrioska dan Khadijah segera masuk kedalam balon. Sejurus setelah itu, balon udara legendaris itu sudah terbang meninggalkan tempat antah-berantah itu.

Matrioska mengajak Khadijah duduk di kursi sambil berbincang-bincang.

“Matrioska, siapa sih, awalnya yang membuat balon udara Zeppelin ini?” tanya Khadijah.

“emm.. namanya Ferdinand von Zeppelin, Khadijah. Terus, uniknya balon udara ini, kulitnya berasal dari ratusan kulit sapi. Lantainya coba lihat, kayu. Bahkan kadang-kadang membuat balon udara ini tak imbang.”kata Matrioska.

“oh, yang buat namanya juga Zeppelin. Pantas saja nama balon udara ini balon udara Zeppelin. Uwah! Masyaallah.. dibuat dari kulit sapi juga? Kerennya, Masyaallah..” kagum Khadijah.

“terus, balon udara ini sangat menakutkan pada zamannya. Karena, beratnya ringan. Kerangkanya terbuat dari aluminum, bukan besi. Karena itu, Zeppelin bisa terbang bebas,sampai setinggi apa pun. Tapi nggak bisa sampai atmosfer tahu..” kata Matrioska, terkekeh.

“oiya, kenapa balon ini menakutkan? Faktanya itu tadi. Kalau dibawa berperang, aman itu semua. Karena, musuh tak mampu –Insyaallah- menjatuhkannya karena Zeppelin bisa beroperasi setinggi apa pun. Jadi, penampakan balon ini sangat mengerikan bagi musuh.” Kata Matrioska.

“Matrioska, kita sudah tiba di kota Cappadocia. Ayo, ajak temanmu itu turun!” pinta Mr. Pilot Danya pada Matrioska.

“ayo Khadijah, kita turun!” ajak Matrioska tersenyum simpul, menyeret tangan sahabat barunya.

“oke Matrioska,” sahut Khadijah pada Matrioska. “Jazakallahu Khoiron Mr. Pilot Danya.. bye-bye…” sambung Khadijah sambil pamit pada Mr. Pilot Danya.

“Iya, Wajazakillahu khoiron katsiron..” balas Mr. Pilot Danya pendek.

Matrioska dan Khadijah turun dari balon udara Zeppelin milik Matrioska. Kemudian, mereka berdua melepaskan pandangan ke seluruh arah.

Tampak banyak sekali balon-balon udara (tapi bukan Zeppelin) yang terbang! Balon udara beraneka warna dan variasi, menghiasi langit kota Cappadocia.

“oh ya. Jadi kita cari keluargamu?” Matrioska Cyntia Forsyt menepuk bahu Khadijah. Mengingatkan misi pentingnya.

“Ah, coba kutelpon dulu,” Khadijah baru ingat. Dengan smarthphone dia bisa menghubungi siapa saja.

Tetapi..

“Astaghfirullah.. habis pulsa?” Khadijah menatap layar smarthphone-nya dengan tampang tidak percaya.

“Yang bener kamu, Khadijah..” Matrioska menepuk pundak Khadijah, bilang jangan bercanda.

“Aku sungguh! Smarthphone-ku lagi habis pulsa..” Khadijah membalas pelan.

“coba pakai jam smartwatch kamu saja,” usul Matrioska.

Khadijah mengangguk, ia menyalakan jam smarthwatch-nya.

“Masya Allah… habis baterai pula?” seru Khadijah memelototi layar jam-nya.

“habis baterai?” Matrioska tampak tidak percaya.

Saat itulah, sebuah balon udara bertuliskan ‘Butterfly Ballons’ terbang diatas mereka. Mereka berdua mendongak, menatap betapa akbarnya besar balon udara itu. Tetapi..

“KHADIJAH!!!”

Tepat sekali. Seruan itu keluar dari mulut mereka, keluarga Khadijah. khadijah tampak tidak percaya, ia mendongak, membulatkan matanya besar-besar.

“UMMI! ABI! KHALID!” Khadijah berseru penuh syukur. Memang, yang sedang menaiki balon udara Butterfly Ballons adalah keluarga Khadijah.

“PAK! Coba buat balon udaranya mendarat Mr. Pilot!” Khalid berteriak kencang. Ia meloncat, setengah percaya, setengah bermimpi.

Mr. Pilot yang sedari tadi sibuk mengendalikan angin panas didalam balon, segera memadamkan angin panas itu. Ia membiarkan balon udara itu diisi angin dingin, supaya balonnya mendarat, menyentuh tanah.

Tepat saat keranjang balon udara menyentuh tanah. Khalid sudah menabrak pintu keranjang, loncat-berlari kencang, kemudian menghambur pada kembarannya.

“Khadijah!!!!”

“Khalid!!!”

Sesuatu yang mengharukan. Matrioska yang melihat pemandangan itu menjadi tersentuh. Ia menyeka ujung bawah kelopak mata kirinya. Berkaca-kaca menatap pemandangan itu dengan sejuta perasaan.

“Alhamdulillah… aku sudah kangen kamu Khadijah! kamu kemana saja sih? Kok malah terpisah? Terus, ini siapa?” Khalid dengan rona muka bahagia bertanya dalam satu tarikan napas.

“aku nggak kemana-mana.” Khadijah menjawab pelan. “saat itu aku sedang berbaring. Mataku terlelap. Bangunnya, hujan salju turun. Sepi, sunyi. Ketika aku memaksakan untuk terus berjalan, aku ketemu sama gadis ini. Namanya Matrioska Cyntia Forsyt.” Kata Khadijah menjawab pertanyaan saudaranya.

Khalid menatap Matrioska. “Jazakillahu Khoiron Katsiron, Matrioska! Aku sudah senang saudariku sudah kembali. Makasih banyak..” Khalid dengan ceria mengatakannya.

“ayo, kita naik balon udara sama-sama,” ajak Ummi dan Abi sembari mendaratkan tepukan hangat di bahu Khadijah.

Khadijah menatap wajah Ummi dan Abi bergantian. Lalu mengangguk setuju.

“Matrioska, ayo kita naik!” ajak Khadijah sambil menepuk pundak Matrioska.

Matrioska menatapnya, kemudian mengangguk. Ia dan Khadijah menaiki balon udara itu bersama Ummi, Abi dan Khalid.

Mereka masuk kedalam keranjang besar yang diatasnya merupakan balon udara yang besar! Keranjang itu mempunyai empat lokasi. Masing-masing lokasi harus diisi empat orang.

Khadijah, Matrioska, Khalid dan Ummi berada di paling sudut keranjang. Khadijah menatap kebawah, melepaskan pandangan di pemandangan yang luas sejauh mata memandang.

“Ummi, kenapa sih, kok balon udara bisa terbang?” tanya Khadijah sambil memegang kisi-kisi keranjang.

“karena, balon udara diisi sama angin dingin. Balonnya akan mengembang. Kemudian, diisi dengan angin panas, maka balonnya akan terbang. Jadi deh!” kata Ummi sembari mengecup kening Khadijah.

“oh,” dan Khadijah hanya menjawab pendek, terus menatap pemandangan.
“gara-gara naik balon udara, aku malah ingat sama Buroq, hewan yang gerakannya secepat kilat. Itu loh, hewan yang dinaiki Nabi Muhammad shallallahu ‘alahi wasallam. Dari Mekkah, malaikat Jibril membawa nabi shallallahu’alahi wa sallam dengan naik Buroq. Tetapi, transit dulu ke Masjidil Aqsha. Rasulullah Muhammad yang mengimami para nabi yang sholat. Kemudian, Rasulullah melanjutkan perjalanan menaiki Buroq menuju Sidratul Muntaha. Iya kan?” kata Khalid, menyeringai menyenangkan.
Khadijah mengangguk singkat, diiringi Ummi yang tersenyum simpul.

***

Satu jam setelah Khadijah dan Matrioska menaiki balon udara, balon udara mendarat. Kemudian,  ada acara kecil-kecilan. Kepada keluarga yang menaiki balon udara ‘Butterfly Ballons’ diberikan sertifikat.

Ketika balon udara-nya mengempis, penumpang balon udara dianjurkan untuk berguling-guling diatas kain balon udara. Baring, telungkup, duduk, ataupun berdiri. Yang penting menginjak kain balon itu.

Terus, kocaknya ada disini. Setelah kain balon dilipat, setiap individu yang menaiki balon udara digendong sama orang yang berperawakan besar, kemudian dicampakkan ke atas lipatan kain balon. Kocaaak!!

 

Khadijah tertawa melihat pemandangan itu.

***

Seketika, Khadijah terbangun dari tidurnya. Ia tersenyum simpul, kemudian diliriknya jam dinding. Masih jam sebelas malam.

Baru sadar, tadi itu mimpi!

 

#cerivitasTantanganMenulis30hari

 

 

 

 

 

 

 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

I Always Love You

Berpetualang bersama RobotBear

Tatapan Pertama