tidak jadi pulang ke China?
Tidak
jadi pulang ke China?
By:
Fatya Bakhitah Sulaiman
Pagi di Inggris. Gedung-gedung
pencakar langit tampak bersusun rapi. Awan putih menggumpal datang berarak memayungi
kota Warminster. Matahari bersinar dibalik awan putih yang menutupi birunya langit.
Khadijah asyik duduk ditepi jendela kaca, menatap keluar dengan mata jenaka.
“Khadijah, ayo kita bersiap. Jam
delapan lewat tigapuluh menit nanti kita akan berangkat ke bandara” kata Abi.
Abi mendatangi kamar Khadijah, nomor 129.
“oke Bi” sahut Khadijah mengiyakan.
Khadijah kembali menyusun
barang-barang kedalam travel bag. Kemudian, ia beranjak mandi dengan segera.
Pukul delapan harus sudah berada di kafetaria. Dan pukul sepuluh pagi pesawat
akan segera berangkat menuju China.
Selesai mandi, Khadijah berpakaian.
Kemudian, ia merapikan ranjang. Sekaligus mengumpulkan barang-barang bawaannya
yang bersembunyi dibalik bantal. Kemudian, setelah semuanya selesai, ia
menyandang ransel biru yang merupakan hadiah yang diberikan Alicia. Ransel
pink-nya ia simpan di travel bag.
“selesai Bi!” kata Khadijah
sambil memasuki kamar Abi, no 128.
“sungguh?” kata Abi menyelidik.
“kamu yakin sudah selesai?” tanya Abi lagi.
“yakin Bi! Insya Allah” balas
Khadijah. Lesung pipinya yang merah merona semakin jelas terlihat. Senyumannya
yang indah sangat menarik simpati setiap jiwa. Tubuh tinggi kekarnya bagaikan
tiang bendera yang menjulang kokoh ke langit. Wajahnya tampak sekali seperti
orang yang berasal dari Poitiers city, karena itu nyaris saja banyak orang yang
menyapanya.
Khadijah berputar seratus
delapan puluh derajat, berjalan penuh wibawa menuju kamar Khalid yang tepat
disebelah kamar Abi dan Ummi, nomor 127.
“tok..tok..tok..” Khadijah
mengetuk pintu sembari menempelkan pipinya ke pintu.
“assalamu’alaikum. Khalid, ayo
kita bersiap. Jam sepuluh nanti kita akan segera berangkat menuju China” sapa
Khadijah sambil membuka pintu.
“waalaikumussalam Khadijah. Aku
sudah siap kok” kata Khalid sambil menyelempangkan ransel berwarna hijau tua.
“masya Allah.. wah,wah.. kamu
dapat darimana tas ransel hijau ini, Khalid?” tanya Khadijah, penasaran.
“aku dapat tas ini dari John. Kemarin kami
bertemu di lobi hotel ” jelas Khalid. Ia menyambar jam smarthwatch-nya yang
tergeletak diatas ranjang. Kemudian dengan cekatan digelangkannya di tangan
kanan.
Khadijah hanya mengangguk datar,
memahami perkataan Khalid. Ia menatap alam bebas dari jendela kaca tembus pandang. Matahari yang berada
dibalik awan menyilaukan pandangan. Bersinar terik.
Kemudian, mereka berdua keluar
dari kamar Khalid di hotel itu. Mereka berkumpul di kamar Abi. Menunggu dua
orangtua yang hendak bersiap.
“ayo, kita ke kafetaria!” seru
Abi tersenyum riang. Abi menggandeng tangan Ummi memasuki lift hotel. Khalid
merangkul Khadijah sambil bercanda tidak karuan. Kemudian, tangan jahil Khalid
dengan kilat menekan tombol lantai satu. Tempat kafetaria berada.
Selang dua puluh detik, keluarga
itu keluar dari lift. Mereka berjalan belok kanan, kemudian lurus. Itulah
kafetaria.
“Khalid, kamu mau sarapan apa?”
tanya Khadijah.
“aku mau sarapan dengan susu dan
roti saja. Sarapannya memang hanya itu kan?” kata Khalid datar. Tanpa reaksi.
Tanpa basa-basi. Tanpa ekspresi.
“emm.. nggak hanya itu saja,
Khalid. Makanan orang sini kan, ada roti, dan sandwich” kata Khadijah. “ada
juga telur setengah matang, dan lain-lain. Seperti enggak pernah ke
Negara-Negara di benua Eropa saja kamu ini” kata Khadijah lagi.
Khalid menggaruk kepala yang
tidak gatal. “oiya!” katanya nyengir.
Khadijah mengambil piring kecil
yang tersusun rapi diatas meja sajian. Kemudian ia mengambil dua potong
sandwich berisi daging sapi panggang dengan lelehan keju Quick Melt. Kemudian
disambarnya gelas kecil yang berisi susu sapi murni, kemudian ia duduk di meja
yang berkursi dua. Kursi saling berhadapan.
Kemudian, Khalid datang dengan
membawa sarapan yang sama.
Lalu, mereka berdua asyik
bercanda ria sambil menikmati sarapan. Cahaya Islamiyah selalu memayungi mereka
dengan senang hati.
***
Selesai sarapan, sebuah mobil
jemputan menjemput keluarga itu dari hotel Warminster menuju bandara. Khadijah
melepaskan senyuman pada kota Warminster. Bye, kami akan pergi dari sini. Kami akan
pergi menuju China. Meneruskan lembar demi lembar sejarah kehidupan.
Perjalanan panjang dari
Warminster menuju London tidak menyurutkan nyali dua anak ini. Mereka tetap
saling bercanda, bercerita, dan lain-lain. Kadang iseng menjawil kerudung
Khadijah. Kadang usil melepas topi kep Khalid. Tetap ceria, tetap kompak.
Tiba di bandara..
Abi menyiapkan semua
perlengkapan keberangkatan. Sedangkan Khadijah dan Khalid duduk ruang tunggu
bersama Ummi. Hanya 30 menit, Abi pun datang. Ikut menunggu pesawat yang akan
menjemput mereka.
“kita main tebak-tebakan yuk!”
ajak Khalid, menyeringai plus tertawa kecil.
“ayo!” kata Khadijah mengiyakan.
Ummi menunjukkan gambar berisi
foto anak kecil di smarthphone Ummi.
“Ummi, ini gambar siapa sih?” tanya Khalid.
“week.. mana boleh nanya sama
Ummi kalau tebak-tebakan.. jawab sendirilah!” semprot Khadijah sambil
memeletkan lidah.
“aku menyerahlah!” Khalid
menyerah.
“ini gambar aku waktu kecil,
tahu!” kata Khadijah.
“yaah.. kukira itu gambar orang
lain, bukan kamu” Khalid pura-pura manyun,
menundukkan kepala.
“hahaha..” tawa Ummi, Abi dan
Khadijah pun berderai.
***
Jam setengah sepuluh. Khadijah
dan Khalid masih asyik bergurau ria. Abi dan Ummi hanya melihat tingkah laku
dua anaknya. Dari tubuh mereka berdua seakan ada dua cahaya yang menyemburat,
menghujam ke langit.
“sudahlah, aku sudah capek! Kamu
ngusilin banget main suit-nya” keluh Khadijah pada Khalid. Nafasnya
terengah-engah. Khalid menutup mulut, tertawa.
“yeee… habisnya kamu tuh, yang
enggak tahu metode mainnya” balas Khalid, bangga.
Khadijah membuka ransel. Ia
mengambil laptop dari ransel biru pemberian Alicia. Ia mengetik nomor password
sambil mengatakan kata-kata. Tidak jelas terdengar di telinga.
“ah, aku browsing di Browser
saja deh. Aku capek melihat metode permainanmu” kata Khadijah sambil menatap
layar laptop, welcome.
“huhuh, kukira kamu mau
bertahan. Rupanya menyerah juga” goda Khalid. Dia tertawa melihat tingkah
saudarinya yang sekarang malah membuka laptop. Khadijah masih mengabaikan
Khalid.
Khadijah membuka Browser. Tetapi..
Iklan di atas pilihan situs
menarik simpatinya. Oh, ada iklan bergambar badai petir. Dibawahnya tertulis
kota Catatumbo, Venezuela. Tiba-tiba..
“Khadijah, ayo kita berangkat.
Pesawatnya sudah mendarat” kata Abi sembari mendaratkan tepukan pelan di bahu
Khadijah.
Khadijah menatap Abi. “sungguh,
Bi?” tanya Khadijah.
Abi mengangguk. Tetapi, ketika Khadijah
menyimpan laptop..
“CETAAR!! CETAAAR!!!”
Bunyi guruh terdengar
mengerikan. Seakan menukik tepat di atas gedung bandara.
Khadijah mengalihkan
perhatiannya kepada pesawat yang berada diluar. Cuaca gelap, mendung mengepung
kota. Mengusir cahaya matahari sejauh-jauhnya. Kilatan petir sesekali masih
terdengar.
Awan gelap datang berarak,
memayungi kota London. Cahaya tak dapat menembus celah-celah awan gelap.
Mendung menyelimuti dunia. Keadaan mencekam sekali.
“CETAAR!! CETAAAR!!!”
“Abi, keadaan seperti ini kita
harus berangkat?” cecar Khalid.
Abi menggeleng. “sepertinya
tidak Sayang..” kata Abi.
Khadijah menghela nafas. “waduh,
kalau begitu jadinya bagaimana?” batinnya. Ummi tetap merangkulnya dari
samping. Menunggu keputusan.
Dari speaker suara, terdengar
suara wanita yang berbicara. Ini terjemahannya:
“untuk pesawat XC-528, waktunya
di delay 24 jam. Cuaca buruk
menghalau untuk berangkat ke China. Jadi, bagi penumpang, diharapkan menunggu
waktu besok”
Khadijah terhenyak. “kita akan
bagaimana Bi?”
“entahlah. Sepertinya kita harus
menginap di hotel bandara” kata Abi, menghela nafas.
“CETAAAR!”
Bunyi petir semakin jelas
terdengar. Khadijah memeluk Ummi. “ayo, baca do’a ketika mendengar petir
Sayang!” pinta Ummi.
“subhanalladzi yusabbihurrao’du
bihamdih. Walmala ikatu min khifatih” bisik Khadijah pelan.
“Ummi, petir bagaimana
terjadinya sih?” tanya Khadijah lugu.
“petir terjadi karena pemampatan
atau pemuaian udara di sekitar sambaran kilat. Sambaran kilat sendiri lebih
panas lima kali dari panas permukaan matahari, atau sekitar 15.000-20.000
derajat Celsius” jelas Ummi.
“masya Allah!! Panas sekali Mi!”
kata Khadijah bergidik.
Ummi mengangguk. “saking
panasnya, udara tersebut kemudian memuai menjadi sangat banyak dalam waktu
sangat singkat. Akhirnya, terjadilah suara petir, yaitu gemuruh yang sangat
keras, karena adanya tumbukan antara udara yang memuai tadi dengan udara
sekitar secara cepat” ujar Ummi sambil membimbing Khadijah dan Khalid untuk
berdiri. Mengikuti Abi yang sedang berjalan ke arah kiri.
“sambaran kilat berlangsung
hanya sekitar 0,2 detik. Sambaran ini diikuti banyak sambaran lain dalam jalur
yang sama. Sambaran yang terjadi dapat menyalakan 100 juta bola lampu dalam
sesaat. Namun, sambaran utama yang mengenai sasaran.” Abi ikut menjelaskan.
Khalid tampak berpikir. “oiya.
Abi, Ummi, dalam al-Quran ada loh, surat yang bernama guruh. Yaitu surat
ar-Ra’d. Di ayat dua belas ada perkataan Allah tentang petir. Hal itu sebagai
peringatan pada manusia agar mereka senantiasa mengingat kebesaran Allah
sebagai Sang Pemilik Alam Semesta” kata Khalid.
Abi mengangguk. “benar Khalid.
Oh ya. Diperkirakan 1800 kali petir terjadi dalam selang waktu yang sama di
bumi. Florida, Amerika Serikat merupakan salah satu daerah yang paling banyak
terjadi petir. Disana, petir terjadi 25 hingga 30 juta kali per tahun”
Khalid menyeletuk. “emm..
tetapi, ada juga loh, daerah yang dalam setahun mengalami petir setiap
malamnya”
“uwow, masya Allah. Daerahnya
apa Khalid?” tanya Khadijah.
“namanya kota Catatumbo,
Venezuela. Disini, badai petir pernah terjadi dalam setahun dalam setiap
malamnya. Bahkan, badai petir itu disebut sebagai Catatumbo Linghting, yang artinya petir Catatumbo. Secara ilmiah,
Fitur Petir Catatumbo terbentuk dari benturan angin gunung dan samudra diatas
air yang lebih hangat. Pertemuan angin semacam ini membentuk badai petir.” Kata
Khalid menjelaskan.
“masya Allah, astaghfirullah..
mengerikan ya! Semoga saja kita tidak diberi seperti itu” kata Khadijah.
“tetapi, petir memberikan
tumbuhan molekul nitrogen dari petir untuk menunjang kehidupannya. Jadi, ada
manfaatnya juga walaupu mengerikan.” Sahut Abi.
“masya Allah, Allah maha Hebat
ya. Terima kasih Allah, telah memberikan ilmu baru untukku!” seru Khadijah.
Komentar
Posting Komentar